Sabtu, 02 Januari 2016

Kesetiaan Sejati



Menjelang pagi hari, saat mentari belum terbit, saat kebanyakan manusia masih terlelap dalam tidur, Rasulullah beranjak pergi meninggalkan Mekkah untuk melaksanakan perintah Allah yaitu berhijrah  ke Yastrib (Sekarang: Madinah). Seperti ungkap Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya berjudul Sirah Nabawiyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw meninggalkan rumah dan pergi berhijrah dengan sabahat sejatinya Abu Bakar r.a secara tergesa-gesa sebelum fajar menyingsing.

Sabtu, 26 Desember 2015

Memaksakan Diri Untuk Bersedakah

Aku mendengar dengan seksama bait lagu yang didendangkan oleh seorang pengamen  di dalam mobil Bus yang ku tumpangi. Siang itu aku bersama Buk E melakukan perjalanan dari Kediri ke Pornorogo untuk berkunjung ke rumah anaknya di sana. Sudah 10 tahun aku tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tante Dewi, anaknya Buk E yang dulu pernah menetap di Aceh kini telah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak. Buk E (panggilan samaran) dan Tante Dewi adalah keluarga yang sangat sederhana. Sejak Tante Dewi masih berumur 3 tahun, Buk E diceraikan oleh Om Alex (nama samaran), suaminya, tanpa alasan apapun. Sejak itu, Buk E bekerja tanpa lelah untuk membesarkan Tante dewi dan juga 1 orang anaknya yang masih bayi. Dan kini mereka telah tumbuh dewasa karena didikan tangan lembut Buk E.

Jumat, 25 Desember 2015

Tapi, Jatuh Itu…



Sudah hampir 4 bulan aku di sini. Di kampung tempatku belajar untuk bangkit kembali. Masih terekam jelas awal niat menyapa hatiku untuk melangkahkan kaki di sini. Saat itu, kawanku menceritakan tentang 3 orang Muslimah Usnyiah yang mendapatkan beasiswa untuk belajar disini, di kampung inggris ini. Aku pun mulai searching di internet tentang informasi itu. Satu per satu informasi aku pahami dengan baik. Mulai dari biaya kursus, biaya kos, biaya makan, biaya transport, biaya ke tempat wisata dan lain sebagainya. Hingga setelah puas dengan berbagai informasi yang aku cari, aku pun berazam dan berkata pada kawanku bahwa aku akan pergi kesini untuk memperbaiki Bahasa Inggrisku.

Minggu, 06 September 2015

Dear Adikku, Zikrina



Alhamdulillah…
Aku sangat bersyukur kepada-Nya sebab dianugerahkan seorang adik yang selalu berada disampingku hampir disetiap perjuangan mimpi-mimpiku. Sangat bersyukur sebab Allah hadirkan seorang adik yang setia menemani dalam luka dan tawaku. Dalam gelisah dan senangku. Ia penyemangat batinku untuk terus berjuang mengenggam mimpi-mimpiku. Ia menasehat diriku saat impian yang telah ku tata dengan rapi tidak mampu ku raih. Ia menyadarkan diri saya untuk bangkit dan ikhlas menerima pemberian Allah saat rencana saya tidak bertemu dengan rencana Allah Swt. Bagi saya, ia adalah seorang adik sekaligus sahabat imanku.

Untuk mu, Anak Ideologisku


           
Bertemu denganmu tentu bukan tanpa alasan. Allah pasti punya tujuan tersendiri kenapa kita
dipertemukan. Entah itu pertemuannya dengan sengaja di rancang, dipertemukan secara tiba-tiba oleh-Nya,
dijumpakan oleh orang lain atau lembaga dakwah kampus atau bahkan aku menemukan nomor hp mu dari secarik kertas yang diberikan orang lain padaku. Entah pertemuan kita berusia seminggu, sebulan, beberapa bulan, setahun atau sudah beberapa tahun. Yang pastinya, dengan cara bagaimanapun dan se-usia berapapun kita bertemu, kita telah saling menantap wajah, bersapa, bersalam mesra, saling berkenalan, lalu melewati hari bersama-sama dalam majelis ilmu yang kita sebut lingkaran cinta.

Senin, 20 April 2015

Lelaki Cahaya (Part 2)



            “Hallo Majidah….”
            “Iya”, Aku hanyut dalam kepanikanku hingga lupa menjawab pertanyaan panitia.
            “Iya Bang, Saya hubungi Ayah lagi, nanti saya telepon Ayah”.
        “Ngak apa-apa, biar saya yang hubungi aja, kamu kirim nomor Ayah ke saya ya.” Kata panitia tersebut.
            Aku pun segera mengirim nomor Ayah. Alhamdulillah akhirnya panitia tersebut bisa berjumpa dengan Ayah. Aku pun sudah bisa tenang dan melanjutkan kembali pekerjaanku memnuat slide power point malam itu.



Detik-Detik Keberangkatan MTQ Nasional
Langit bergemuruh, suara guntur memenuhi kota Banda Aceh pada detik-detik keberangkatan kami ke kota Batam di pagi hari itu. Dedaunan berterbangan kesana kemari bersebab angin yang sangat kencang. Sesekali kilatan cahaya petir seakan menyambar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitaran kantor LPTQ Aceh.
Semua panitia dan peserta sudah berkumpul di kantor LPTQ Aceh. Kantor ini adalah pusat pelatihan para peserta yang akan mengikuti MTQ Nasional disetiap tahunnya. Jam menunjukka pukul 09.00. Namun hujan tetap saja belum berhenti. Akhirnya, satu persatu kami dipayungi oleh panitia untuk masuk ke dalam Bus yang akan mengantarkan kami ke Bandara Iskanda Muda yang terletak di desa Blang Bintang, Aceh Besar.
Lebih kurang jam 10.00 kami tiba di bandara. Terlihat sebagian orang tua dari para peserta sudah stanby di Bandara untuk melepaskan kepergian anaknya berjuang di kota Batam. Aku melirik ke kiri kanan, samping dan belakang mencari-cari wajah Ayah dan Mamak, namun aku belum bisa tersenyum. Ayah dan Mamak belum sampai. “Mungkin karena hujan lebat, Ayah dan Mamak belum bisa pergi ke Bandara’’ bisikku dalam hati. Memang, aku sudah mengirimkan SMS kepada Ayah untuk tidak usah pergi ke bandara kalau hujan lebat dan tidak berhenti. Tapi Ayah membalas “Kita tunggu hujan reda, Insya Allah Ayah dan Mamak tetap pergi”. Aku hanya khawatir sebab Ayah dan Mamak Cuma punya sepeda motor. Mungkin saja dirumah sudah tidak ada mantel.
“Kakma….!!!
Tiba-tiba terdengar suara Adikku memanggil nama ku dari arah belakang. Aku segera memutar balikkan badanku. Dan, ternyata sosok yang kun anti sudah tiba di Bandara dengan tubuh yang menggigil, baju yang basah kuyub. Ayah dan Mamak sudah bersama kami dibandara.
Sesejuk udara dihari itu, semesra rintikan hujan yang berjatuhan lembut ke bumi. Hatiku membasah menatap dua sosok yang berjuang menembus badai, melawan lebatnya hujan untuk berjumpa kami di Bandara. Seperti tetesan hujan yang membasahi gersangnya hamparan gurun pasir. Wajah-wajah teduh itu semakin membuatku sejuk., semakin bercahaya dimataku walau telah dibahasi oleh hujan yang membadai. Segera ku raih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Damai. Teduh. Aku benar-benar merasakan rasa itu saat berada dihadapan mereka.
***
“Ayah disamping kiri ni, dekat pagar”, sebuah SMS masuk ke Handphone ku ketika pesawat mau take off. Aku segera membalas karena sebentar lagi Handphone harus segera dimatikan.
“Sebelah mana. Yah. Nggak nampak dari pesawat”, Jawabku.
“Sebelah kiri dekat pintu gerbang Bandara.”
Mataku terus menelusuri keluar jendela. Terus dan terus ku melihat keluar dengan melotot lekat-lekat. Akhirnya, dua sosok itu Nampak. Mereka berdiri mesra berdua dibawah rintikan hujan sambil melambaikan tangan. Segera ku balas lagi SMS Ayah :
“Ayah, udah nampak ne. “ Dengan memasang emoticon senyum.
HP ku pun segera ku matikan. Pesawat mulai take off. Aku masih menatap Ayah dan Mamak dari balik jendela. Pelan-pelan dua sosok yang berdiri mesra mulai mengecil dan menghilang karena pesawat semakin tinggi terbang. Tiba-tiba hatiku bergumam “Andai saja Ayah dan Mamak juga disini, disampingku. Andai saja Aku bisa membawa mereka ikut terbang bersama, menikmati indahnya awan, indahnya luatan. Indahnya kekuasaan Allah ini, pasti mereka akan lebih bahagia”.
 Sungai kecil mulai membetuk dimataku. Aku terisak. Aku menangis dan berdoa dalam hati “Allah, sejak hari ini, detik ini Aku berazam kuat dalam hati bahwa suatu saat Aku harus bisa membawa Ayah dan Mamak terbang melihat indahnya jagat rayat ini, sebagaiman Engkau telah tampakkan kekuasaan-Mu pada ku hari. Allah, izinkan ku menjadi sayap-sayap bagi mereka yang akan membawa mereka terbang ke rumah-Mu, ke tanah suci-Mu”. Segera ku usap air mataku.




            Dari sosok Ayah aku belajar bahwa tak perlu bahasa sastra untuk mengungkapkan cinta. Tapi justru cinta itu lebih mesra di lafzakan dalam pengorbanan yang tak henti memberikan yang terbaik untuk yang di cintai. Dari Ayah aku memahami, bahwa semangat itu tidak boleh berhenti meskipun tantangan sering menghampiri. Terimakasih Lelaki Cahayaku

            “Hallo Majidah….”
            “Iya”, Aku hanyut dalam kepanikanku hingga lupa menjawab pertanyaan panitia.
            “Iya Bang, Saya hubungi Ayah lagi, nanti saya telepon Ayah”.
            “Ngak apa-apa, biar saya yang hubungi aja, kamu kirim nomor Ayah ke saya ya.” Kata panitia tersebut.
            Aku pun segera mengirim nomor Ayah. Alhamdulillah akhirnya panitia tersebut bisa berjumpa dengan Ayah. Aku pun sudah bisa tenang dan melanjutkan kembali pekerjaanku memnuat slide power point malam itu.


Detik-Detik Keberangkatan MTQ Nasional
Langit bergemuruh, suara guntur memenuhi kota Banda Aceh pada detik-detik keberangkatan kami ke kota Batam di pagi hari itu. Dedaunan berterbangan kesana kemari bersebab angin yang sangat kencang. Sesekali kilatan cahaya petir seakan menyambar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitaran kantor LPTQ Aceh.
Semua panitia dan peserta sudah berkumpul di kantor LPTQ Aceh. Kantor ini adalah pusat pelatihan para peserta yang akan mengikuti MTQ Nasional disetiap tahunnya. Jam menunjukka pukul 09.00. Namun hujan tetap saja belum berhenti. Akhirnya, satu persatu kami dipayungi oleh panitia untuk masuk ke dalam Bus yang akan mengantarkan kami ke Bandara Iskanda Muda yang terletak di desa Blang Bintang, Aceh Besar.
Lebih kurang jam 10.00 kami tiba di bandara. Terlihat sebagian orang tua dari para peserta sudah stanby di Bandara untuk melepaskan kepergian anaknya berjuang di kota Batam. Aku melirik ke kiri kanan, samping dan belakang mencari-cari wajah Ayah dan Mamak, namun aku belum bisa tersenyum. Ayah dan Mamak belum sampai. “Mungkin karena hujan lebat, Ayah dan Mamak belum bisa pergi ke Bandara’’ bisikku dalam hati. Memang, aku sudah mengirimkan SMS kepada Ayah untuk tidak usah pergi ke bandara kalau hujan lebat dan tidak berhenti. Tapi Ayah membalas “Kita tunggu hujan reda, Insya Allah Ayah dan Mamak tetap pergi”. Aku hanya khawatir sebab Ayah dan Mamak Cuma punya sepeda motor. Mungkin saja dirumah sudah tidak ada mantel.
“Kakma….!!!
Tiba-tiba terdengar suara Adikku memanggil nama ku dari arah belakang. Aku segera memutar balikkan badanku. Dan, ternyata sosok yang kun anti sudah tiba di Bandara dengan tubuh yang menggigil, baju yang basah kuyub. Ayah dan Mamak sudah bersama kami dibandara.
Sesejuk udara dihari itu, semesra rintikan hujan yang berjatuhan lembut ke bumi. Hatiku membasah menatap dua sosok yang berjuang menembus badai, melawan lebatnya hujan untuk berjumpa kami di Bandara. Seperti tetesan hujan yang membasahi gersangnya hamparan gurun pasir. Wajah-wajah teduh itu semakin membuatku sejuk., semakin bercahaya dimataku walau telah dibahasi oleh hujan yang membadai. Segera ku raih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Damai. Teduh. Aku benar-benar merasakan rasa itu saat berada dihadapan mereka.
***
“Ayah disamping kiri ni, dekat pagar”, sebuah SMS masuk ke Handphone ku ketika pesawat mau take off. Aku segera membalas karena sebentar lagi Handphone harus segera dimatikan.
“Sebelah mana. Yah. Nggak nampak dari pesawat”, Jawabku.
“Sebelah kiri dekat pintu gerbang Bandara.”
Mataku terus menelusuri keluar jendela. Terus dan terus ku melihat keluar dengan melotot lekat-lekat. Akhirnya, dua sosok itu Nampak. Mereka berdiri mesra berdua dibawah rintikan hujan sambil melambaikan tangan. Segera ku balas lagi SMS Ayah :
“Ayah, udah nampak ne. “ Dengan memasang emoticon senyum.
HP ku pun segera ku matikan. Pesawat mulai take off. Aku masih menatap Ayah dan Mamak dari balik jendela. Pelan-pelan dua sosok yang berdiri mesra mulai mengecil dan menghilang karena pesawat semakin tinggi terbang. Tiba-tiba hatiku bergumam “Andai saja Ayah dan Mamak juga disini, disampingku. Andai saja Aku bisa membawa mereka ikut terbang bersama, menikmati indahnya awan, indahnya luatan. Indahnya kekuasaan Allah ini, pasti mereka akan lebih bahagia”.
 Sungai kecil mulai membetuk dimataku. Aku terisak. Aku menangis dan berdoa dalam hati “Allah, sejak hari ini, detik ini Aku berazam kuat dalam hati bahwa suatu saat Aku harus bisa membawa Ayah dan Mamak terbang melihat indahnya jagat rayat ini, sebagaiman Engkau telah tampakkan kekuasaan-Mu pada ku hari. Allah, izinkan ku menjadi sayap-sayap bagi mereka yang akan membawa mereka terbang ke rumah-Mu, ke tanah suci-Mu”. Segera ku usap air mataku.
            Dari sosok Ayah aku belajar bahwa tak perlu bahasa sastra untuk mengungkapkan cinta. Tapi justru cinta itu lebih mesra di lafzakan dalam pengorbanan yang tak henti memberikan yang terbaik untuk yang di cintai. Dari Ayah aku memahami, bahwa semangat itu tidak boleh berhenti meskipun tantangan sering menghampiri. Terimakasih Lelaki Cahayaku

 



Senin, 27 Oktober 2014

Seutuhnya Bidadari


Assalamu'alaikum akhwatfillah,,,
Lama tidak menyapa di dumay. Semoga selalu dalam semangat yang membara, iman yang semakin menyubur, hati yang damai dan fisik yang sehat. Aamiin

Akwatfillah, perjuangan ini tidak ubahnya seperti pendakian gunung. Mental kita diuji dan niat untuk mendaki pun terusik saat melihat betapa banyaknya bebatuan dan terjal di pegunungan. Teringat saat mendaki gunung di pertualangan SIDDIQ 28. Ketika saya sudah mulai ingin menyerah dan ingin berhenti untuk mendaki padahal tinggal beberapa langkah lagi, ada dorongan yang kuat dari adik-adik panitia. "Ayo kak majidah, sedikit lagi, naik terus!. Bagus kali pemandangan disini" teriak mereka di atas puncak gunung. Hati saya pun berbisik "Jika mereka bisa sampai ke puncak gunung, kenapa saya nggak?. "Oke semangaat majidaaah!", saya memompa semangat diri sendiri". Akhirnya pendakian pun terus dilanjutkan walau dengan nafas tersengal-sengal, keringat yang semakin bercururan dan alhamdulillah sampai juga di puncak. Walaupun pada akhirnya bingung dan ketakutan pada saat turun, Haha