Sabtu, 26 Desember 2015

Memaksakan Diri Untuk Bersedakah

Aku mendengar dengan seksama bait lagu yang didendangkan oleh seorang pengamen  di dalam mobil Bus yang ku tumpangi. Siang itu aku bersama Buk E melakukan perjalanan dari Kediri ke Pornorogo untuk berkunjung ke rumah anaknya di sana. Sudah 10 tahun aku tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tante Dewi, anaknya Buk E yang dulu pernah menetap di Aceh kini telah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak. Buk E (panggilan samaran) dan Tante Dewi adalah keluarga yang sangat sederhana. Sejak Tante Dewi masih berumur 3 tahun, Buk E diceraikan oleh Om Alex (nama samaran), suaminya, tanpa alasan apapun. Sejak itu, Buk E bekerja tanpa lelah untuk membesarkan Tante dewi dan juga 1 orang anaknya yang masih bayi. Dan kini mereka telah tumbuh dewasa karena didikan tangan lembut Buk E.

“Inilah kehidupan Buk E, Nak! Ucapnya kepadaku saat aku tiba dirumahnya yang masih berlantai tanah, berdinding bata dan beratap genteng rapuh. “Buk E memang jarang menetap di rumah. Orang-orang dikampung ini menjadi saksi kalau Buk E tidak pernah berhenti pergi ke berbagai daerah untuk bekerja sebagai pembatu rumah tangga”, dengan nada sendu ia bercerita kepadaku. Ia lalu duduk dekat denganku dan kembali memberiku nasehat-nasehat bijak “Nak, jika kamu punya harta yang banyak, bantulah orang-orang lain dengan harta yang kamu miliki itu. Jika kamu punya harta yang sedikit, tetaplah bantu mereka dari sedikitnya harta yang kamu punya, agar orang-orang miskin menjadi ringan bebannya dengan bantuanmu”. Aku terdiam mendengar nasehat Buk E. Betapa bijaknya dia. Aku kembali semangat untuk berbagi kebaikan.
Tapi, beramal ternyata memang tidak semudah berkata-kata. Aku merasakannya betapa beratnya beramal saat pengamen itu menyedorkan kotak sedekah di hadapanku. Seperti biasa, setelah mendendangkan lagu, pengamen tersebut meminta sedekah seikhlasnya ke penumpang mobil Bus. Aku melirik ke dompetku. Ingin sekali aku memberi dari sedikitnya uang yang aku punya. Tapi batinku ragu sebab uang yang tersisa dalam dompetku hanya Rp. 150.000. Uang itu akan gunakan untuk keperluan ku selama beberapa hari kedepan. Aku memang lagi sangat membutuhkannya untuk biaya makan , dan biaya belajar di Kampung Inggris Pare, Kediri. Uang itu juga akan aku pakai untuk biaya perjalanan pulang dari rumah Tante Dewi. Mengingat banyaknya kebutuhanku, aku menjadi ragu untuk bersedekah.
 Aku melirik Buk E, ia tetap memberikan sedekah untuk pengamen itu dengan. Padahal aku tau kalau uang Buk E juga tersisa hanya sedikit lagi, Cukup untuk biaya perjalanan pulang-pergi ke Pornorogo dan biaya makan. Aku tiba-tiba malu pada diri sendiri. Betapa kikirnya aku jika tidak bersedekah untuk orang lain. Betapa egoisnya aku jika hanya memikirkan perutku sendiri tanpa berbagi kekayaan untuk orang lain. Setelah itu, niat bersedekahku menjadi semakin kuat. Akhirnya aku pun memutuskan memberi sedikit uang yang kupanyai. Tidak banyak, hanya Rp. 5.000 rupiah.Kejadian ini membuatku kembali tersadar bahwa bersedekah itu mudah kalau kita punya banyak kekayaan. Tapi ia menjadi sulit saat kita juga lagi berada dalam situasi keuangan yang menipis”,
Sebenarnya aku tahu bahwa Allah telah berjanji dalam Al-Qur’an akan menambahkan harta kekayaan untuk orang-orang yang suka bersedakah dalam keadaan senang maupun sempit. Sebab, aku sudah pernah mendapatkan sebuah pengalaman yang membuatku yakin bahwa sedekah yang diberikan untuk orang lain akan Allah gantikan dengan yang lebih banyak lagi. Namun, terkadang untuk mengaplikasikan amalan ini aku harus memaksakan diri. Seperti sebuah ungkapan “ala bisa karena dipaksa”. Apalagi disaat aku mengalami situasi krisis keuangan, Maka, kadang tak perlu menunggu ikhlas datang terlebih dahulu baru kemudian bersedakah, tapi memberi terlebih dahulu, kemudian memohon kepada Allah agar ikhlas  hadir di hati.
Surprise Allah
Perjalanan menuju ke rumah Tante Dewi telah selesai. Aku kembali ke kos-an ku di Pare setelah dua hari menginap di rumah tanteku. Tiba-tiba saja saat sedang beristirahat di kamar kos, aku mendapat telepon dari kawanku di Aceh. Dia memberitahuku bahwa dia telah mentransfer uang ke rekeningku sebanyak Rp. 100.000 yang merupakan hadiah darinya. Tiba-tiba saja air mataku menetes, betapa luasnya nikmat Allah Swt, betapa besarnya kasih sayang Allah untuk hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan dalam keadaan lapang maupun sempit. Allah membuktikan bahwa sedekah itu akan tumbuh menjadi bercabang-cabang, bertangkai dan berbuah. Allah menggantikan uang Rp.5.000 yang ku sedekahkan dengan jumlah yang lebih banyak lagi.
Kejadian ini mengingatkan ku tentang peristiwa 1 tahun yang. Dulu, saat aku masih menjadi Mahasiswa di Universitas Negeri Islam Banda Aceh. Aku pernah mengalami kejadian yang sama di sana. Saat itu, aku juga merasakan keraguan untuk bersedekah di saat adik letingku sangat butuh bantuanku untuk segera dibawa ke rumah sakit. Ia telah terbaring selama 3 hari di kamar kos karena demam tinggi. Peristiwa itu masih membekas dalam ingatanku hingga hari ini. Betapa tidak, Allah memberikan surprise besar untukku usaiku bersedakah.
Dengan situasi keuangan yang menipis, aku memutuskan untuk membantu adik letingku yang lagi sakit. Sisa uangku saat itu hanya Rp. 50.000 dan di ATM juga tidak ada lagi simpanan. Aku memutuskan untuk membantu dia dengan memberikan separuh dari uang jajanku yang masih tersisa itu. Tidak banyak memang, hanya Rp. 25.000.
Beberapa kemudian, aku menerima telepon dari guruku, Ustad Amran. Dia menelponku sore hari saat aku masih mengendarai sepeda motor menuju TPA tempat ku mengajar. Mendengar suara hp berbunyi, aku menghentikan sejenak perjalanku dan segera ku angkat telepon ustadku.
“Majidah, ustad sudah transfer uang untuk majidah Rp.2.000.000.” Ungkap ustad lewat telepon.
“Loh, uang apa ustad?, Kok banyak banget?”. Aku bertanya dengan nada terkejut.
Ustad menjawab “Itu hadiah dari Kantor Baitul Mal untuk, Majidah!
Ketika itu, dalam keharuan hatiku berdesis “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar