Sudah hampir 4 bulan aku di sini.
Di kampung tempatku belajar untuk bangkit kembali. Masih terekam jelas awal
niat menyapa hatiku untuk melangkahkan kaki di sini. Saat itu, kawanku
menceritakan tentang 3 orang Muslimah Usnyiah yang mendapatkan beasiswa untuk
belajar disini, di kampung inggris ini. Aku pun mulai searching di internet
tentang informasi itu. Satu per satu informasi aku pahami dengan baik. Mulai
dari biaya kursus, biaya kos, biaya makan, biaya transport, biaya ke tempat wisata
dan lain sebagainya. Hingga setelah puas dengan berbagai informasi yang aku
cari, aku pun berazam dan berkata pada kawanku bahwa aku akan pergi kesini
untuk memperbaiki Bahasa Inggrisku.
Namun, niat itu aku tunda sebab
aku harus menyelesaikan amanahku untuk mengikuti lomba MTQ Provinsi di Nagan
Raya. Kali ini, kabupaten tempat kelahiranku menjadi tuan rumah di ajang MTQ
provinsi. Tentu amanah kali ini sangat berat. Cabang yang aku ikuti menjadi
salah satu cabang yang diandalkan oleh Nagan Raya. Mungkin karena pada tahun
sebelumnya aku telah membawa nama Nagan Raya di MTQ Nasional. Tentu tidak mudah
untuk mempertahankan apa yang telah diraih. Tapi aku hanya bisa berpositif
thiking dengan terus berusaha dan berdoa semampu yang aku bisa.
Hingga takdir berkata bahwa aku
harus terjatuh. Harus merasakan sakitnya terjatuh. Harus merasakan sesaknya
dada menanggung sakitnya terjatuh. Harus merasakan perihnya hati sebab luka
terjatuh. Luka yang hingga kini ternyata masih menganga dalam jiwaku. Aku
benar-benar belum pernah merasakan sesakit ini rasanya terjatuh. Ya, aku
terjatuh dalam perlombaan MTQ. Jangankan mendapatkan juara yang lebih baik dari
tahun sebelumnya, bahkan mempertahankan juara yang pernah ku raih saja aku tak
mampu. Aku justru jatuh jauh dari dugaanku. Harapan 2. Ya, aku hanya bisa
meraih juara harapan 2.
Dan luka itu semakin menganga dan perih saat melihat ibuku menangis sambil memelukku saat aku tiba di rumah usai perlombaan. Air mata menjadi terbiasa untuk tumpah di saat melewati hari-hari seperti ini. Aku menangis terisak dalam kesendirianku bersama-Nya dan bahkan terkadang air mata ini menjadi sulit untuk ku bending di depan umum saat melihat guru-guruku menangis. Aku telah gagal memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuaku, untuk guru-guruku yang telah mendidikku begitu lama dengan penuh keikhlasan.
Dan, luka ini pula yang semakin
menguatkan azamku untuk berangkat ke kampung inggris ini. Aku hendak menjemput
impian-impianku yang lain dan tidak lagi mau meratap dan menangisi impian yang
telah gagal ku raih itu. Aku meyakinkan Ayah dan Mamakku dan membujuk mereka
untuk memberikanku izin belajar di sini. “Mak, Yah, aku mau terus berjuangan.
Aku ingin fokus mempersiapkan kuliah S2 dan belajar bahasa inggris. Aku mau
apply beasisawa, aku mau bejuang Mak, Yah”. Hingga mereka pun memberikanku
izin.
Aku pergi dengan segenap perasaan sedih atas kelahahan yang menimpaku. Meski setiap kali aku berusaha untuk melupakanya, selalu saja moment itu berhasil mencuri ruang di pikiranku untuk dia tempati. Ia, memang tidak mudah melupakan rasa sakit ini. Apalagi hampir 9 bulan aku mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba ini. Apalah lagi setelah 4 karya telah selesai, tiba-tiba saja tema perlombaan dirubah yang membuatku harus berjuang dari nol lagi dalam menulis. Hingga detik-detik menjelang pembukaan MTQ kami masih harus bergelut dengan setumpukan buku di tempat pelatihan. Masih harus mengurangi jam tidur, masih harus terjaga hingga jam 2 malam untuk menyelesaikan karya-karya ini. Ya, tidak mudah bagiku untuk benar-benar bisa melupakan ini semua.
Tapi, masa lalu hanyalah masa lalu. Tidak ada waktu dan ruang lagi untuk kita bisa memperbaikinya. Aku besyukur karena Allah memilihku untuk merasakan sakitnya terjatuh ini. Sebab dengan peristiwa ini aku belajar tentang hakikat kemenangan dan kekalahan sejati. Apalah lagi pelajaran tentang ikhlas dan sabar. Bahwa ikhlas dan sabar ini tidak semudah yang kupikirkan. Bahkwa ikhlas dan sabar ini adalah dua aktivitas hati yang perlu perjuangan besar untuk bisa merasakannya. Ia tidak semudah yang kita ucapkan. Tapi harus terus diusahakan dengan kedekatan dan doa yang terus menjulang pada-Nya agar benar-benar terpatri kuat hati hingga ketenangan menghampiri.
Dan selamanya peristiwa ini akan
aku biarkan terpatri dalam ruang hati dan pikiranku. Ya, selamanya. Sebab dengan
itu aku akan terus punya semangat untuk terus bangkit, untuk terus berjuang
menjadi lebih baik. Sesakit apapun kenangan itu, sepahit apapun peristiwa itu, ia akan menjadi motivasi bagiku untuk tidak
membiarkan diriku terjatuh kembali dijurang sakit yang sama. Luka itu juga yang
menjadi imun bagi hatiku dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan
lainnya.
Satu hal yang paling terasa atas
peristiwa jatuh ini adalah kehadiran Allah dalam hari-hari beratku. Tanpa-Nya,
aku mungkin tidak tahu cara untuk bangkit dari peristiwa ini semua. Tanpa
pelukan Allah, aku mungkin tidak tahu
cara untuk belajar mengambil hikmah. Tanpa kasih dan cinta-Nya, aku mungkin
tidak mengerti cara belajar ikhlas dan sabar atas peristiwa yang meinimpa. Aku
bersyukur sebab peristiwa ini membuatku merasakan nikmatnya menangis dalam
shalat, lezatnya menangis dala do’a-do’a dan sujud panjangku. Indahnya meneteskan
air mata saat meresapi ayat-ayat-Nya. Mungkin Allah rindu dengan tangisku,
Allah pilih aku menjadi salah satu hambanya yang ditimpa cobaan dari Nya.
Mungkin Allah rindu dengan rintihanku, karena itu Ia pilih aku menjadi salah
satu hambanya yang merintih sakit dihadapa-Nya.
Ayah…
Mamak..
Kakpi..
Cutngoh…
Abang..
Zikri..
Ahmad..
Ustad…
Abu…
Terimkasih telah menjadi
penyemangat. Terimakasih telah menjadi penguat bagiku dalam melewati hari-hari
beratku. Perjuangan ini masih panjang. Aku
akan terus berjuang untuk menjadi sukses di mata Allah, bukan di mata
manusia.
Ya. Jatuh itu sakit. Tapi, ada
pelajaran yang tidak bisa didapatkan ditempat lain kecuali di sini. Dengan
jatuh seperti ini.
Ya. Jatuh itu sakit. Tapi, itu
adalah cubitan dari Allah untuk niat kita yang mungkin telah berbelok arah. Tak
lagi ridha-Nya yang kita cari hingga Allah pun menyadarkan kita dengan cubitan
mesra dalam cobaan yang menimpa.
Ya. Jatuh itu sakit. Tapi yang
jatuh di mata manusia, belum jatuh martabatnya di mata Allah Swt. Sebab Allah
punya kacamata yang paling istimewa dalam memandang sukses. Bahwa sukses bukan
pada hasil akhir tapi proses yang tidak melanggar aturan-Nya.
Ya. Jatuh itu sakit. Tapi bersama
Allah, jatuh itu menjadi nikmat. Nikmat sekali. Sebab Allah sedang membelai
hati kita untuk semaki dekat dengan-Nya.
Ya. Jatuh itu sakit. Tapi bersama Allah, kau akan menjadi sembuh,
kuat dan tegar.
Dan benar bahwa memori tentang
rasa sakit itu sulit dilupakan. Tapi kamu tidak perlu berusaha untuk
melupakannya. Yang perlu dilakukan hanyalah berdamai dengan takdir-Nya.
Allah, tetaplah bersamaku.
Dalam bahagia dan lukaku.
Dalam tawa dan tangisku.
Dalam keramaian dan
kesendirianku.
Dalam manis dan pahit
kehidupanku.
Sebab, tanpa-Mu, aku hanya
butiran debu yang tak mampu bertahan dan
tidak berguna untuk kehidupan.
Allah, jika Engkau telah
memalingkan wajah dariku, maka pada siapa lagi aku mengadu, mengambil kekuatan
untuk hidupku.
Tetaplah disini, dihati ini
Rabbku.
#Tulisanuntukmenguatkandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar