Menjelang pagi hari, saat mentari belum terbit, saat kebanyakan
manusia masih terlelap dalam tidur, Rasulullah beranjak pergi meninggalkan
Mekkah untuk melaksanakan perintah Allah yaitu berhijrah ke Yastrib (Sekarang: Madinah). Seperti ungkap
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya berjudul Sirah Nabawiyah
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw meninggalkan rumah dan pergi berhijrah
dengan sabahat sejatinya Abu Bakar r.a secara tergesa-gesa sebelum fajar
menyingsing.
Meski suasana sebelumnya sangatlah mencekam, namun hal tersebut
tidak menggoyahkan tekad Rasulullah untuk berhijrah melaksanakan perintah Allah
Swt.. Betapa tidak, sebelumnya rumah Rasulullah Saw dikepung oleh pemuka
Quraisy untuk menghalangi keberangkatan Rasulullah ke Madinah. Strategi demi
strategi pun disusun, dirangcang serapi mungkin untuk menggagalkan rencana
hijrah Rasulullah Saw. Tapi, sebaik apapun tipu daya mereka, tentu akan
terkalahkan dengan tipu daya Allah Swt. Sebagaimana firmannya :
…”Mereka memikirkan tipu daya itu, dan Allah sebaik-baik Pembalas
tipu daya (QS. Al-Anfal: 30)
Ya. Rasulullah Saw lolos dari tipu daya mereka dengan pertolongan
Allah. Rasulullah Saw menaburkan pasir di kepala mereka sehingga membuat para
pemuka Quraisy tersebut tertidur lelap dan tidak menyadari kepergian Rasulullah
Saw dari rumahnya.
Ali bin Abu Thalib: Menggantikan Rasulullah
Sudah tidak asing ditelinga kita tentang nama ini, beliau adalah pemuda
yang paling cepat memeluk ajaran suci yang di bawa Nabi Saw. Kesetiannya dalam
menemani perjuangan Rasulullah Saw sangatlah banyak dilukiskan dalam buku-buku
sejarah, termasuk kesetian Ali bi Abu Thalib dalam episode kisah hijrah
Rasululullah Saw.
“Tidurlah di atas tempat tidurku”. Kata Rasulullah Saw pada Ali bin Abi Thalib r.a.
Maka, tanpa ba-bi-bu, Ali bin Abi Thalib r.a pun melaksanakan
perintah Rasulullah Saw dengan segera. Beliau berbaring ditempat tidur
Rasulullah Saw dengan berselimut mantel berwarna hijau yang sering dipakai oleh
Rasulullah Saw untuk berselimut. Tidak ada rasa takut, meskipun diluar sana
para pemuka Quraisy sedang mengepung rumah Rasulullah Saw. Menggantikan posisi
Rasulullah Saw ditempat tidur tentulah sangat besar resikonya. Dan Ali bin Abi
Thalib r.a siap dengan semua resiko itu. Walaupun nyawa taruhannya. Namun
karena Allah, untuk Rasulullah Saw, kekasih Allah yang membawa risalah kesucian
dari langit, Ali bin Abi Thalib tidak pernah ragu berkorban apapun yang dia
punya.
Abu Bakar r.a di Gua Tsaur
“Ya Rasul, biarlah aku yang masuk terlebih dahulu”, Ucap Abu Bakar r.a kepada Rasulullah Saw saat tiba di Gua Tsaur.
“Sebab, jika
ada sesuatu yang tidak beres, biarlah aku saja yang menanggungnya. Aku tak ingin
tubuh sucimu terluka”. Lanjut Abu Bakar r.a.
Lalu Abu Bakar r.a
pun masuk ke dalam gua untuk memastikan keamanan di dalamnya. Ada sebuah lubang
yang didapati olenya. Dengan segera Abu Bakar r.a menutupi lubang tersebut dengan
menggunakan mantelnya yang dirobek.
“Masuklah,Wahai
Rasulullah”!. Abu Bakar .r.a mempersilahkan Rasullah Saw untuk memasuki gua
setelah memastikan kondisinya. Rasulullah Saw pun masuk ke dalam gua.
Saat itu Abu Bakar menemani Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah dan
harus menghentikan perjalanan di Gua Tsur. Sedangkan dibelakang dua insan mulia
ini, para musuh (Kafir Quraisy) masih terus mengintai dan mencari jejak mereka.
Perjalanan yang jauh tersebut menyebabkan Rasulullah merasakan kelelahan. Dari
balik Gua terlihat para kafir Quraisy mondar-mandir di luar. Ada desah
ketakutan yang menghampiri Abu Bakar. Lalu, ia pun berkata kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, bagaimana kalau seandainya mereka menemuka jejak kita?.
Rasulullah menatap wajah teduh itu dan menjawab”Jangan takut dan jangan
bersedih, Allah bersama kita”. Abu Bakar pun menjadi tenang usai mendengar jawaban
Rasulullah.
Saat berada di dalam Gua, Abu Bakar menangkap guratan lelah dari raut
wajah Rasulullah karena menempuh perjalanan yang jauh. Hingga ia berkata, “Ya, Rasulullah, Tidurlah dipangkuanku”.
Istirahatlah dengan tenang wahai kekasih Allah. Aku akan menjagamu. “Rasulullah
pun merebahkan kepala di atas pangkuanya sedang Abu Bakar tetap terjaga. Di
dalam gua yang dingin dan remang, hanya mereka berdua dan Allah Swt menjadi
saksi perjalanannya.
Setelah beberapa
menit kemudian, Abu Bakar r.a menangis. Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit, berusaha
untuk tidak meirintih, tidak menjerit. Berusaha untuk tidak menggerakkan
kakinya meski sakit yang dirasakannya itu sangatlah perih. Namun rasa sakit
yang dalam membuat air mata Abu Bakar tetap terjatuh. Ia menangis dalam
diamnya, menahan isak dengan tanpa bersuara. Tanpa sengaja, air matanya menetes
mengenai pipi Rasullulah Saw yang sedang berbaring di pangkuannya. Akhirnya Rasulluah pun terjaga dari
tidurnya dan keheranan melihat Abu Bakar
r.a yang sedang meneteskan air mata.
“Apa yang
terjadi wahai Abu Bakar? Mengapa engkau menangis?” “Apakah engkau
menyesal menemani perjalananku”?. Tanya Rasulullah.
“Tidak ya
Rasulullah. Sama sekali tidak menyesal!. Aku ridha dan ikhlas menemanimu. Maafkan
aku wahai Rasullullah, aku tidak bermaksud untuk mengganggu istirahatmu.
Sungguh, aku hanya ingin engkau dapat merebahkan badan dengan tenang diatas
pangkuanku. Tapi, tiba-tiba saja aku digigit ular yang bisanya membuat tubuhku
sakit dan tidak sanggup menahan air
mata”.
Rasullah terenyuh
mendegar tutur kata Abu Bakar r.a, Ia menatap wajah syahdu itu penuh cinta dan
kasih sayang. Bukan Abu Bakar saja yang basah matanya karena air mata, lelaki
purnama, Rasulullah Saw juga akhirnya berlinarkan air mata haru atas cinta yang
diberikan sahabatnya, Abu Bakar. Lalu Rasulullah mengusap gigitan itu dengan
air ludahnya. Dengan izin Allah, rasa sakit Abu Bakar akhirnya hilang.
Kesetiaan di jalan-Nya
Membaca kisah diatas
menyadarkan kita akan besarnya kesetian para sahabat dalam menjaga dan
mengikuti kekasih Allah, Rasulullah Saw. Kesetian yang lahir atas pemahaman
bahwa mencintai Rasulullah adalah cara untuk mendapatkan cinta Allah Swt.
Seperti yang telah disampaikan dalam kitab-Nya
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Ali-Imran :31)
Maka, tidak ada
yang perlu diragukan lagi bahwa cara mencintai Allah adalah dengan mengikuti
semuanya dan segalanya yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dan meneruskan
perjuangannya agar terus tegak dibumi ini. Seperti para sahabat yang telah
memberikan sederetan contoh kepada kita tentang kesetiannya dalam membantu
Rasulullah dalam menegakkan risalah-Nya.
Sekalipun, kita
tidaklah hidup semasa dengan Rasulullah saw, dan jarak kita dengannya telah
terpisah sekian ribu tahun, tapi tetap saja perjuangan Rasulullah harus diteruskan
hingga hari ini, esok, nanti dan seterusnya sampai ajal memisahkan dengan alam
dunia. Rasulullah Saw senantiasa merindukan orang-orang yang meneruskan
perjuangannya meskipun terpisahkan oleh beribu-ribu jarak.
Dalam satu riwayat
disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw melakukan perjalanan dengan para
sahabat. Lalu, seketika Rasulullah meneteskan air mata. Para sahabat terkejut
melihat Rasulullah yang secara tiba-tiba menangis. Untuk menjawab
ketidaktahuannya, para sahabatpun bertanya,
“Ya Rasulullah, Kenapa engkau menangis?”.
“Aku rindu dengan saudara-saudaraku”, Jawab Rasulullah dengan nada sendu dalam linangan air mata.
“Bukankah kami ini
saudaramu, Wahai Rasulullah?”
Tanya para sahabat.
“Bukan, kalian sahabatku. Sedangkan saudaraku yang ku maksud adalah
mereka yang belum pernah berjumpa denganku, tapi mereka mengimaniku, meneruskan
perjuanganku. Bahkan mereka mencintaiku melebihi cinta kepada diri mereka
sendiri, kepada orang tua dan anak-anaknya. Aku rindu mereka!. Ungkap Rasulullah.
Inilah sebuah ungkapan
rindu Rasulullah yang diluapkan dalam air matanya, diumumkan di depan para
sahabatnya. Rindu dan cinta yang menembus jarak dan waktu. Rindu dan cinta
kepada mereka yang setia membersamai dan membumikan risalah Rasulullah
sepanjang hidupnya.Semoga, Sepotong kisah ini mengajarkan kita tentang
kesetiaan di jalan Allah. Bahwa kesetiaan sejati adalah taat dan berkorban
tanpa batas untuk Allah dan Rasulullah. Tak pernah mengenal kata ‘lelah’
apalagi berhenti. Tapi terus berdenyut dan berdetak dalam kerja nyata hingga
ajal menghentikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar