“Hallo Majidah….”
“Iya”, Aku hanyut dalam kepanikanku
hingga lupa menjawab pertanyaan panitia.
“Iya Bang, Saya hubungi Ayah lagi,
nanti saya telepon Ayah”.
“Ngak apa-apa, biar saya yang
hubungi aja, kamu kirim nomor Ayah ke saya ya.” Kata panitia tersebut.
Aku pun segera mengirim nomor Ayah.
Alhamdulillah akhirnya panitia tersebut bisa berjumpa dengan Ayah. Aku pun
sudah bisa tenang dan melanjutkan kembali pekerjaanku memnuat slide power point
malam itu.
Detik-Detik Keberangkatan MTQ
Nasional
Langit
bergemuruh, suara guntur memenuhi kota Banda Aceh pada detik-detik keberangkatan
kami ke kota Batam di pagi hari itu. Dedaunan berterbangan kesana kemari
bersebab angin yang sangat kencang. Sesekali kilatan cahaya petir seakan
menyambar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitaran kantor LPTQ Aceh.
Semua
panitia dan peserta sudah berkumpul di kantor LPTQ Aceh. Kantor ini adalah
pusat pelatihan para peserta yang akan mengikuti MTQ Nasional disetiap
tahunnya. Jam menunjukka pukul 09.00. Namun hujan tetap saja belum berhenti.
Akhirnya, satu persatu kami dipayungi oleh panitia untuk masuk ke dalam Bus
yang akan mengantarkan kami ke Bandara Iskanda Muda yang terletak di desa Blang
Bintang, Aceh Besar.
Lebih
kurang jam 10.00 kami tiba di bandara. Terlihat sebagian orang tua dari para peserta
sudah stanby di Bandara untuk melepaskan kepergian anaknya berjuang di kota
Batam. Aku melirik ke kiri kanan, samping dan belakang mencari-cari wajah Ayah
dan Mamak, namun aku belum bisa tersenyum. Ayah dan Mamak belum sampai. “Mungkin
karena hujan lebat, Ayah dan Mamak belum bisa pergi ke Bandara’’ bisikku dalam
hati. Memang, aku sudah mengirimkan SMS kepada Ayah untuk tidak usah pergi ke
bandara kalau hujan lebat dan tidak berhenti. Tapi Ayah membalas “Kita tunggu
hujan reda, Insya Allah Ayah dan Mamak tetap pergi”. Aku hanya khawatir sebab
Ayah dan Mamak Cuma punya sepeda motor. Mungkin saja dirumah sudah tidak ada
mantel.
“Kakma….!!!
Tiba-tiba
terdengar suara Adikku memanggil nama ku dari arah belakang. Aku segera memutar
balikkan badanku. Dan, ternyata sosok yang kun anti sudah tiba di Bandara dengan
tubuh yang menggigil, baju yang basah kuyub. Ayah dan Mamak sudah bersama kami
dibandara.
Sesejuk
udara dihari itu, semesra rintikan hujan yang berjatuhan lembut ke bumi. Hatiku
membasah menatap dua sosok yang berjuang menembus badai, melawan lebatnya hujan
untuk berjumpa kami di Bandara. Seperti tetesan hujan yang membasahi gersangnya
hamparan gurun pasir. Wajah-wajah teduh itu semakin membuatku sejuk., semakin
bercahaya dimataku walau telah dibahasi oleh hujan yang membadai. Segera ku
raih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Damai. Teduh. Aku benar-benar
merasakan rasa itu saat berada dihadapan mereka.
***
“Ayah
disamping kiri ni, dekat pagar”, sebuah SMS masuk ke Handphone ku ketika pesawat
mau take off. Aku segera membalas karena sebentar lagi Handphone harus segera
dimatikan.
“Sebelah
mana. Yah. Nggak nampak dari pesawat”, Jawabku.
“Sebelah
kiri dekat pintu gerbang Bandara.”
Mataku
terus menelusuri keluar jendela. Terus dan terus ku melihat keluar dengan
melotot lekat-lekat. Akhirnya, dua sosok itu Nampak. Mereka berdiri mesra
berdua dibawah rintikan hujan sambil melambaikan tangan. Segera ku balas lagi
SMS Ayah :
“Ayah,
udah nampak ne. “ Dengan memasang emoticon senyum.
HP
ku pun segera ku matikan. Pesawat mulai take off. Aku masih menatap Ayah dan
Mamak dari balik jendela. Pelan-pelan dua sosok yang berdiri mesra mulai
mengecil dan menghilang karena pesawat semakin tinggi terbang. Tiba-tiba hatiku
bergumam “Andai saja Ayah dan Mamak juga disini, disampingku. Andai saja Aku
bisa membawa mereka ikut terbang bersama, menikmati indahnya awan, indahnya
luatan. Indahnya kekuasaan Allah ini, pasti mereka akan lebih bahagia”.
Sungai kecil mulai membetuk dimataku. Aku
terisak. Aku menangis dan berdoa dalam hati “Allah, sejak hari ini, detik ini
Aku berazam kuat dalam hati bahwa suatu saat Aku harus bisa membawa Ayah dan
Mamak terbang melihat indahnya jagat rayat ini, sebagaiman Engkau telah
tampakkan kekuasaan-Mu pada ku hari. Allah, izinkan ku menjadi sayap-sayap bagi
mereka yang akan membawa mereka terbang ke rumah-Mu, ke tanah suci-Mu”. Segera
ku usap air mataku.
Dari sosok Ayah aku belajar bahwa tak
perlu bahasa sastra untuk mengungkapkan cinta. Tapi justru cinta itu lebih mesra
di lafzakan dalam pengorbanan yang tak henti memberikan yang terbaik untuk yang
di cintai. Dari Ayah aku memahami, bahwa semangat itu tidak boleh berhenti meskipun
tantangan sering menghampiri. Terimakasih Lelaki Cahayaku
“Hallo Majidah….”
“Iya”, Aku hanyut dalam kepanikanku
hingga lupa menjawab pertanyaan panitia.
“Iya Bang, Saya hubungi Ayah lagi,
nanti saya telepon Ayah”.
“Ngak apa-apa, biar saya yang
hubungi aja, kamu kirim nomor Ayah ke saya ya.” Kata panitia tersebut.
Aku pun segera mengirim nomor Ayah.
Alhamdulillah akhirnya panitia tersebut bisa berjumpa dengan Ayah. Aku pun
sudah bisa tenang dan melanjutkan kembali pekerjaanku memnuat slide power point
malam itu.
Detik-Detik Keberangkatan MTQ
Nasional
Langit
bergemuruh, suara guntur memenuhi kota Banda Aceh pada detik-detik keberangkatan
kami ke kota Batam di pagi hari itu. Dedaunan berterbangan kesana kemari
bersebab angin yang sangat kencang. Sesekali kilatan cahaya petir seakan
menyambar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitaran kantor LPTQ Aceh.
Semua
panitia dan peserta sudah berkumpul di kantor LPTQ Aceh. Kantor ini adalah
pusat pelatihan para peserta yang akan mengikuti MTQ Nasional disetiap
tahunnya. Jam menunjukka pukul 09.00. Namun hujan tetap saja belum berhenti.
Akhirnya, satu persatu kami dipayungi oleh panitia untuk masuk ke dalam Bus
yang akan mengantarkan kami ke Bandara Iskanda Muda yang terletak di desa Blang
Bintang, Aceh Besar.
Lebih
kurang jam 10.00 kami tiba di bandara. Terlihat sebagian orang tua dari para peserta
sudah stanby di Bandara untuk melepaskan kepergian anaknya berjuang di kota
Batam. Aku melirik ke kiri kanan, samping dan belakang mencari-cari wajah Ayah
dan Mamak, namun aku belum bisa tersenyum. Ayah dan Mamak belum sampai. “Mungkin
karena hujan lebat, Ayah dan Mamak belum bisa pergi ke Bandara’’ bisikku dalam
hati. Memang, aku sudah mengirimkan SMS kepada Ayah untuk tidak usah pergi ke
bandara kalau hujan lebat dan tidak berhenti. Tapi Ayah membalas “Kita tunggu
hujan reda, Insya Allah Ayah dan Mamak tetap pergi”. Aku hanya khawatir sebab
Ayah dan Mamak Cuma punya sepeda motor. Mungkin saja dirumah sudah tidak ada
mantel.
“Kakma….!!!
Tiba-tiba
terdengar suara Adikku memanggil nama ku dari arah belakang. Aku segera memutar
balikkan badanku. Dan, ternyata sosok yang kun anti sudah tiba di Bandara dengan
tubuh yang menggigil, baju yang basah kuyub. Ayah dan Mamak sudah bersama kami
dibandara.
Sesejuk
udara dihari itu, semesra rintikan hujan yang berjatuhan lembut ke bumi. Hatiku
membasah menatap dua sosok yang berjuang menembus badai, melawan lebatnya hujan
untuk berjumpa kami di Bandara. Seperti tetesan hujan yang membasahi gersangnya
hamparan gurun pasir. Wajah-wajah teduh itu semakin membuatku sejuk., semakin
bercahaya dimataku walau telah dibahasi oleh hujan yang membadai. Segera ku
raih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Damai. Teduh. Aku benar-benar
merasakan rasa itu saat berada dihadapan mereka.
***
“Ayah
disamping kiri ni, dekat pagar”, sebuah SMS masuk ke Handphone ku ketika pesawat
mau take off. Aku segera membalas karena sebentar lagi Handphone harus segera
dimatikan.
“Sebelah
mana. Yah. Nggak nampak dari pesawat”, Jawabku.
“Sebelah
kiri dekat pintu gerbang Bandara.”
Mataku
terus menelusuri keluar jendela. Terus dan terus ku melihat keluar dengan
melotot lekat-lekat. Akhirnya, dua sosok itu Nampak. Mereka berdiri mesra
berdua dibawah rintikan hujan sambil melambaikan tangan. Segera ku balas lagi
SMS Ayah :
“Ayah,
udah nampak ne. “ Dengan memasang emoticon senyum.
HP
ku pun segera ku matikan. Pesawat mulai take off. Aku masih menatap Ayah dan
Mamak dari balik jendela. Pelan-pelan dua sosok yang berdiri mesra mulai
mengecil dan menghilang karena pesawat semakin tinggi terbang. Tiba-tiba hatiku
bergumam “Andai saja Ayah dan Mamak juga disini, disampingku. Andai saja Aku
bisa membawa mereka ikut terbang bersama, menikmati indahnya awan, indahnya
luatan. Indahnya kekuasaan Allah ini, pasti mereka akan lebih bahagia”.
Sungai kecil mulai membetuk dimataku. Aku
terisak. Aku menangis dan berdoa dalam hati “Allah, sejak hari ini, detik ini
Aku berazam kuat dalam hati bahwa suatu saat Aku harus bisa membawa Ayah dan
Mamak terbang melihat indahnya jagat rayat ini, sebagaiman Engkau telah
tampakkan kekuasaan-Mu pada ku hari. Allah, izinkan ku menjadi sayap-sayap bagi
mereka yang akan membawa mereka terbang ke rumah-Mu, ke tanah suci-Mu”. Segera
ku usap air mataku.
Dari sosok Ayah aku belajar bahwa tak
perlu bahasa sastra untuk mengungkapkan cinta. Tapi justru cinta itu lebih mesra
di lafzakan dalam pengorbanan yang tak henti memberikan yang terbaik untuk yang
di cintai. Dari Ayah aku memahami, bahwa semangat itu tidak boleh berhenti meskipun
tantangan sering menghampiri. Terimakasih Lelaki Cahayaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar