Senin, 20 April 2015

Lelaki Cahaya (Part 2)



            “Hallo Majidah….”
            “Iya”, Aku hanyut dalam kepanikanku hingga lupa menjawab pertanyaan panitia.
            “Iya Bang, Saya hubungi Ayah lagi, nanti saya telepon Ayah”.
        “Ngak apa-apa, biar saya yang hubungi aja, kamu kirim nomor Ayah ke saya ya.” Kata panitia tersebut.
            Aku pun segera mengirim nomor Ayah. Alhamdulillah akhirnya panitia tersebut bisa berjumpa dengan Ayah. Aku pun sudah bisa tenang dan melanjutkan kembali pekerjaanku memnuat slide power point malam itu.



Detik-Detik Keberangkatan MTQ Nasional
Langit bergemuruh, suara guntur memenuhi kota Banda Aceh pada detik-detik keberangkatan kami ke kota Batam di pagi hari itu. Dedaunan berterbangan kesana kemari bersebab angin yang sangat kencang. Sesekali kilatan cahaya petir seakan menyambar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitaran kantor LPTQ Aceh.
Semua panitia dan peserta sudah berkumpul di kantor LPTQ Aceh. Kantor ini adalah pusat pelatihan para peserta yang akan mengikuti MTQ Nasional disetiap tahunnya. Jam menunjukka pukul 09.00. Namun hujan tetap saja belum berhenti. Akhirnya, satu persatu kami dipayungi oleh panitia untuk masuk ke dalam Bus yang akan mengantarkan kami ke Bandara Iskanda Muda yang terletak di desa Blang Bintang, Aceh Besar.
Lebih kurang jam 10.00 kami tiba di bandara. Terlihat sebagian orang tua dari para peserta sudah stanby di Bandara untuk melepaskan kepergian anaknya berjuang di kota Batam. Aku melirik ke kiri kanan, samping dan belakang mencari-cari wajah Ayah dan Mamak, namun aku belum bisa tersenyum. Ayah dan Mamak belum sampai. “Mungkin karena hujan lebat, Ayah dan Mamak belum bisa pergi ke Bandara’’ bisikku dalam hati. Memang, aku sudah mengirimkan SMS kepada Ayah untuk tidak usah pergi ke bandara kalau hujan lebat dan tidak berhenti. Tapi Ayah membalas “Kita tunggu hujan reda, Insya Allah Ayah dan Mamak tetap pergi”. Aku hanya khawatir sebab Ayah dan Mamak Cuma punya sepeda motor. Mungkin saja dirumah sudah tidak ada mantel.
“Kakma….!!!
Tiba-tiba terdengar suara Adikku memanggil nama ku dari arah belakang. Aku segera memutar balikkan badanku. Dan, ternyata sosok yang kun anti sudah tiba di Bandara dengan tubuh yang menggigil, baju yang basah kuyub. Ayah dan Mamak sudah bersama kami dibandara.
Sesejuk udara dihari itu, semesra rintikan hujan yang berjatuhan lembut ke bumi. Hatiku membasah menatap dua sosok yang berjuang menembus badai, melawan lebatnya hujan untuk berjumpa kami di Bandara. Seperti tetesan hujan yang membasahi gersangnya hamparan gurun pasir. Wajah-wajah teduh itu semakin membuatku sejuk., semakin bercahaya dimataku walau telah dibahasi oleh hujan yang membadai. Segera ku raih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Damai. Teduh. Aku benar-benar merasakan rasa itu saat berada dihadapan mereka.
***
“Ayah disamping kiri ni, dekat pagar”, sebuah SMS masuk ke Handphone ku ketika pesawat mau take off. Aku segera membalas karena sebentar lagi Handphone harus segera dimatikan.
“Sebelah mana. Yah. Nggak nampak dari pesawat”, Jawabku.
“Sebelah kiri dekat pintu gerbang Bandara.”
Mataku terus menelusuri keluar jendela. Terus dan terus ku melihat keluar dengan melotot lekat-lekat. Akhirnya, dua sosok itu Nampak. Mereka berdiri mesra berdua dibawah rintikan hujan sambil melambaikan tangan. Segera ku balas lagi SMS Ayah :
“Ayah, udah nampak ne. “ Dengan memasang emoticon senyum.
HP ku pun segera ku matikan. Pesawat mulai take off. Aku masih menatap Ayah dan Mamak dari balik jendela. Pelan-pelan dua sosok yang berdiri mesra mulai mengecil dan menghilang karena pesawat semakin tinggi terbang. Tiba-tiba hatiku bergumam “Andai saja Ayah dan Mamak juga disini, disampingku. Andai saja Aku bisa membawa mereka ikut terbang bersama, menikmati indahnya awan, indahnya luatan. Indahnya kekuasaan Allah ini, pasti mereka akan lebih bahagia”.
 Sungai kecil mulai membetuk dimataku. Aku terisak. Aku menangis dan berdoa dalam hati “Allah, sejak hari ini, detik ini Aku berazam kuat dalam hati bahwa suatu saat Aku harus bisa membawa Ayah dan Mamak terbang melihat indahnya jagat rayat ini, sebagaiman Engkau telah tampakkan kekuasaan-Mu pada ku hari. Allah, izinkan ku menjadi sayap-sayap bagi mereka yang akan membawa mereka terbang ke rumah-Mu, ke tanah suci-Mu”. Segera ku usap air mataku.




            Dari sosok Ayah aku belajar bahwa tak perlu bahasa sastra untuk mengungkapkan cinta. Tapi justru cinta itu lebih mesra di lafzakan dalam pengorbanan yang tak henti memberikan yang terbaik untuk yang di cintai. Dari Ayah aku memahami, bahwa semangat itu tidak boleh berhenti meskipun tantangan sering menghampiri. Terimakasih Lelaki Cahayaku

            “Hallo Majidah….”
            “Iya”, Aku hanyut dalam kepanikanku hingga lupa menjawab pertanyaan panitia.
            “Iya Bang, Saya hubungi Ayah lagi, nanti saya telepon Ayah”.
            “Ngak apa-apa, biar saya yang hubungi aja, kamu kirim nomor Ayah ke saya ya.” Kata panitia tersebut.
            Aku pun segera mengirim nomor Ayah. Alhamdulillah akhirnya panitia tersebut bisa berjumpa dengan Ayah. Aku pun sudah bisa tenang dan melanjutkan kembali pekerjaanku memnuat slide power point malam itu.


Detik-Detik Keberangkatan MTQ Nasional
Langit bergemuruh, suara guntur memenuhi kota Banda Aceh pada detik-detik keberangkatan kami ke kota Batam di pagi hari itu. Dedaunan berterbangan kesana kemari bersebab angin yang sangat kencang. Sesekali kilatan cahaya petir seakan menyambar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitaran kantor LPTQ Aceh.
Semua panitia dan peserta sudah berkumpul di kantor LPTQ Aceh. Kantor ini adalah pusat pelatihan para peserta yang akan mengikuti MTQ Nasional disetiap tahunnya. Jam menunjukka pukul 09.00. Namun hujan tetap saja belum berhenti. Akhirnya, satu persatu kami dipayungi oleh panitia untuk masuk ke dalam Bus yang akan mengantarkan kami ke Bandara Iskanda Muda yang terletak di desa Blang Bintang, Aceh Besar.
Lebih kurang jam 10.00 kami tiba di bandara. Terlihat sebagian orang tua dari para peserta sudah stanby di Bandara untuk melepaskan kepergian anaknya berjuang di kota Batam. Aku melirik ke kiri kanan, samping dan belakang mencari-cari wajah Ayah dan Mamak, namun aku belum bisa tersenyum. Ayah dan Mamak belum sampai. “Mungkin karena hujan lebat, Ayah dan Mamak belum bisa pergi ke Bandara’’ bisikku dalam hati. Memang, aku sudah mengirimkan SMS kepada Ayah untuk tidak usah pergi ke bandara kalau hujan lebat dan tidak berhenti. Tapi Ayah membalas “Kita tunggu hujan reda, Insya Allah Ayah dan Mamak tetap pergi”. Aku hanya khawatir sebab Ayah dan Mamak Cuma punya sepeda motor. Mungkin saja dirumah sudah tidak ada mantel.
“Kakma….!!!
Tiba-tiba terdengar suara Adikku memanggil nama ku dari arah belakang. Aku segera memutar balikkan badanku. Dan, ternyata sosok yang kun anti sudah tiba di Bandara dengan tubuh yang menggigil, baju yang basah kuyub. Ayah dan Mamak sudah bersama kami dibandara.
Sesejuk udara dihari itu, semesra rintikan hujan yang berjatuhan lembut ke bumi. Hatiku membasah menatap dua sosok yang berjuang menembus badai, melawan lebatnya hujan untuk berjumpa kami di Bandara. Seperti tetesan hujan yang membasahi gersangnya hamparan gurun pasir. Wajah-wajah teduh itu semakin membuatku sejuk., semakin bercahaya dimataku walau telah dibahasi oleh hujan yang membadai. Segera ku raih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Damai. Teduh. Aku benar-benar merasakan rasa itu saat berada dihadapan mereka.
***
“Ayah disamping kiri ni, dekat pagar”, sebuah SMS masuk ke Handphone ku ketika pesawat mau take off. Aku segera membalas karena sebentar lagi Handphone harus segera dimatikan.
“Sebelah mana. Yah. Nggak nampak dari pesawat”, Jawabku.
“Sebelah kiri dekat pintu gerbang Bandara.”
Mataku terus menelusuri keluar jendela. Terus dan terus ku melihat keluar dengan melotot lekat-lekat. Akhirnya, dua sosok itu Nampak. Mereka berdiri mesra berdua dibawah rintikan hujan sambil melambaikan tangan. Segera ku balas lagi SMS Ayah :
“Ayah, udah nampak ne. “ Dengan memasang emoticon senyum.
HP ku pun segera ku matikan. Pesawat mulai take off. Aku masih menatap Ayah dan Mamak dari balik jendela. Pelan-pelan dua sosok yang berdiri mesra mulai mengecil dan menghilang karena pesawat semakin tinggi terbang. Tiba-tiba hatiku bergumam “Andai saja Ayah dan Mamak juga disini, disampingku. Andai saja Aku bisa membawa mereka ikut terbang bersama, menikmati indahnya awan, indahnya luatan. Indahnya kekuasaan Allah ini, pasti mereka akan lebih bahagia”.
 Sungai kecil mulai membetuk dimataku. Aku terisak. Aku menangis dan berdoa dalam hati “Allah, sejak hari ini, detik ini Aku berazam kuat dalam hati bahwa suatu saat Aku harus bisa membawa Ayah dan Mamak terbang melihat indahnya jagat rayat ini, sebagaiman Engkau telah tampakkan kekuasaan-Mu pada ku hari. Allah, izinkan ku menjadi sayap-sayap bagi mereka yang akan membawa mereka terbang ke rumah-Mu, ke tanah suci-Mu”. Segera ku usap air mataku.
            Dari sosok Ayah aku belajar bahwa tak perlu bahasa sastra untuk mengungkapkan cinta. Tapi justru cinta itu lebih mesra di lafzakan dalam pengorbanan yang tak henti memberikan yang terbaik untuk yang di cintai. Dari Ayah aku memahami, bahwa semangat itu tidak boleh berhenti meskipun tantangan sering menghampiri. Terimakasih Lelaki Cahayaku

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar