Sabtu, 06 Februari 2016

Bunda, Dengarkan Ceritaku



Untuk kesekian kalinya kisahmu membuatku terpesona. Meski diulang berkali-kali, tak kudapati rasa jenuh bagi telingaku untuk menyimaknya dalam-dalam. Meski dibaca untuk kesekian kali, tak kudapati rasa lelah mataku untuk menyusuri bait-bait ceritamu. Karena kekuatan imanmu, kebaikan akhlakmu, kelembutan dan ketegaranmu, semuanya memesona dan mencahaya. Hingga jiwaku rindu untuk bisa berjumpa dan bertatap denganmu di syurga-Nya.

Ku tahu bahwa jarak hidupku denganmu sangatlah juah. Tidak mampu lagi dihitung dengan angka. Dan aku sadar, bahwa kita juga tidak pernah sekalipun bertatap muka. Tapi sungguh, aku merasa hati kita begitu dekat. Dekat sekali. Hingga setiap saat kurasa ada getar cintamu yang seakan-akan menyapa jiwaku. Saat aku sedih, seakan-akan kau hadir dan menyapu air mataku dengan tangan lembutmu dan berkata "Jangan menangis, Anakku". Saat aku lelah berjuang, seakan kau datang dan duduk disampingku, lalu berkata sambil menepuk-nepuk lembut di pundakku “Jangan menyerah, Anakku. Keajaiban Allah pasti akan datang”
Aku tahu, dan aku benar-benar tahu bahwa kau tidak mengenalku. Hamba Allah yang tidak ada apa-apanya dibandingmu. Hamba Allah yang bukan siapa-siapa dibandingmu. Namamu Allah sebutkan dalam kitab suci dan kau menjadi pendamping kekasih Allah, Ibrahim As, Nabi pilihan Allah. Ya. Aku bukan siapa-siapa mungkin di sisimu. Tapi aku bersyukur bisa mengenal sedikit tentangmu. Ya, hanya "sedikit" mungkin. Sebab ku tahu, ada banyak cerita  tentang kehidupanmu, akhlakmu yang belum ku dengar.
Aku hanya mengenal kisahmu dari Al-Qur'an, dari buku, dari guru-guruku. Kau muslimah shalihah dan hebat, istri yang kuat, ibu yang tangguh, pantang menyerah, lembut dan bersahaja. Begitu kesimpulanku tentangmu. Aku cemburu sebab aku belum bisa sepertimu. Aku malu sebab aku belum mampu setegar dam seteguh hatimu. Kaulah salah satu Ibunda untuk diteladani oleh perempuan-perempuan yang beriman, Ibunda Siti Hajar RA.
Maka, hari ini Bunda. Aku ingin sekali berbicara dan bercerita denganmu. Karena itu aku menulis ini dan membayangkan bahwa Bunda sedang mendengar ceritaku. Dengarkanlah sejenak, Bunda. Ini tentang rasa cinta, rindu dan kagumku padamu.
Bunda…
Meski aku tidak tahu persis bagaimana rasa sedihnya hati saat ditinggal oleh suamimu dipadang pasir yang tidak ada kehidupan apapun disana. Tidak ada manusia, tumbuhan, hewan, makanan. Tidak ada. Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa syaithanpun tidak ada di sana. Lalu, dengan nada lembut kau bertanya pada suamimu, “Mengapa engkau meninggalkanku di sini, Wahai Suamiku.” Tapi suamimu tidak menjawab. Terdiam dan tidak menoleh padamu. Sebab menoleh padamu tentu membuatnya semakin berat untuk melangkah. Suamimu tidak menjawab sebab ia sedang menahan perasaan sedihnya meninggalkan istri dan anak bayinya yang telah dinanti begitu lama kelahiranya. Ia sedang menahan perasaan pilu hatinya meninggalkan istri yang begitu taat pada Allah dan padanya. Ia membunuh rasa khawatirnya dengan menitipmu dan anakmu pada-Nya (Lihat: QS. Ibrahim: 37).
Aku tahu dari berbagai sumber cerita bahwa saat itu kau sempat bingung dengan sikap suamimu. Setelah ia mengajakmu dan bayimu pergi bersamanya ke Mekkah, ia lalu meninggalkanmu tanpa memberitahukan tentang keputusan ini sebelumnya padamu. Dan kau pun pada akhirnya mengerti sendiri bahwa suamimu tidak pernah memperlakukanmu dengan sikap tidak baik. “Ini pasti karena perintah Allah”, lirihmu dalam hati. Hingga kau berkata "Jika ini adalah perintah Allah, maka pergilah,  Wahai Suamiku. Aku ridha!".
Lihatlah!. Ucapanmu begitu indah, Bunda. kau tak banyak bertanya, tak ngambek, tak mencaci maki suamimu atas sikap yang diambilnya. Cinta pada-Nya yang begitu kuat terpatri dalam dirimu, menuntunmu untuk ridha melepaskannya. Bunda, bagian kisahmu ini menjadi cambuk bagiku jika terkadang hadirnya rasa berat melepaskan sesuatu yang kucinta yang sebenarnya adalah milik-Nya. Menjadi alarm bagiku untuk memahami bahwa aku memamg tidak pernah memiliki apapun di dunia ini. Semuanya hanyalah titipan yang kapan saja berhak untuk diambil kembali oleh pemilik sejati, Allah Swt.
Bunda…
 Aku juga tidak tahu persis seberapa pilu hatimu sebagai seorang ibu saat melihat anakmu yang masih bayi menangis, menjerit kehausan. Sedang bekalmu telah habis. Sedang tidak ada air sedikit pun disekitarmu dan tidak ada manusia yang dapat menolongmu. Hanya Allah dan seorang bayi yang punya. Tapi, ada sisi lain yang kau miliki yaitu iman yang kuat pada Allah dank au percaya penuh akan pertolongan Allah.
Lalu kau pun berjalan mencari air dari bukit Safa ke Marwah. Aku juga tidak tahu seberapa jauh jarak antara Safa dan Marwah yang kau tempuh saat itu. Aku juga tidak seberapa mengerti bagaimana lelahnya engkau berlari berulang kali untuk mencari sumber mata air. Aku tidak tahu, Bunda. Tapi aku bisa membayangkan itu dari kisah-kisah yang kubaca. Sedikitnya, Aku bisa merasakan apa yang Bunda rasakan. Dan kisahmu ini selalu kuagungkan dalam diriku. Saat harapan sudah tidak lagi menyala dalam benakku. Saat semangat sudah tidak lagi berkobar dalam dadaku sebab usaha-usahaku yang belum berbuah. Kisahmu ini mencahaya dalam benakku hingga membuatku bisa bangkit kembali.
Bunda, Jiddiyahmu menakjubkan. Menyadarkanku bahwa Muslimah yang percaya utuh pada Allah tidak layak untuk menyerah. Jiddiyahmu sungguh begitu bermakna dan membuatku semakin terkesima padamu. Usaha yang total, doa yang khusyuk, tawakal yang utuh pada-Nya terlihat dari sikapmu yang terus berlari dan berlari dari Safa ke Marwah berulang kali. Kisah ini seakan menampar hatiku saat aku merasa ingin menyerah. Mencambuk batinku saat aku menjadi ragu akan keajaiban Allah. Kisah ini juga menjadi motivasi yang seakan-akan selalu kau bisikkan dalam hatiku. Kau yakinkan aku tentang keajaiban dan pertolongan Allah. Kau sadarkan aku bahwa Allah punya banyak cara untuk menolong. Meski kadang pertolongan-Nya tidak didapati melalui jalan perjuangan yang ditempuh. Seperti kisahmu, Bunda. Yang pada akhirnyaa justru air itu muncul dari kaki bayi yang mulia bernama Ismail As.
Bunda..
            Terimkasih untuk cerita mu yang menakjubkan. Untuk perjuangan hebat yang kau contohkan. Maka Bunda, Aku ingin berkata padamu bahwa Aku jatuh cinta padamu. Aku mencintaimu karena Allah. Maka, maukah Bunda mencintaiku yang lemah ini?. Aku ingin berkata padamu bahwa Aku kagum dan rindu padamu. Aku ingin berjumpa dengan-Mu di syurga Allah. Maukah Bunda berjumpa denganku agarku bisa melepaskan rindu yang telah lama membeku di hati ini?. Aku berharap Allah mengizinkaku bermanja denganmu di sana. Di syurga Allah. Dan jika kelak kita berjumpa, bolehkah aku memelukmu?. Sebab ingin sekali aku merasakan kehangatan cinta dari pelukanmu. Semoga boleh. T_T

1 komentar:

  1. Keren tulisan kk
    Boleh bagi tipsnya kk untuk penulis pemula??

    BalasHapus