Untuk kesekian
kalinya kisahmu membuatku terpesona. Meski diulang berkali-kali, tak kudapati
rasa jenuh bagi telingaku untuk menyimaknya dalam-dalam. Meski dibaca untuk
kesekian kali, tak kudapati rasa lelah mataku untuk menyusuri bait-bait
ceritamu. Karena kekuatan imanmu, kebaikan akhlakmu, kelembutan dan
ketegaranmu, semuanya memesona dan mencahaya. Hingga jiwaku rindu untuk bisa
berjumpa dan bertatap denganmu di syurga-Nya.
Ku tahu bahwa jarak
hidupku denganmu sangatlah juah. Tidak mampu lagi dihitung dengan angka. Dan aku
sadar, bahwa kita juga tidak pernah sekalipun bertatap muka. Tapi sungguh, aku
merasa hati kita begitu dekat. Dekat sekali. Hingga setiap saat kurasa ada
getar cintamu yang seakan-akan menyapa jiwaku. Saat
aku sedih, seakan-akan kau hadir dan menyapu air mataku dengan tangan lembutmu
dan berkata "Jangan menangis, Anakku". Saat aku lelah
berjuang, seakan kau datang dan duduk disampingku, lalu berkata sambil menepuk-nepuk
lembut di pundakku “Jangan menyerah, Anakku. Keajaiban Allah pasti akan
datang”
Aku tahu, dan
aku benar-benar tahu bahwa kau tidak mengenalku. Hamba Allah yang tidak ada
apa-apanya dibandingmu. Hamba Allah yang bukan siapa-siapa dibandingmu. Namamu
Allah sebutkan dalam kitab suci dan kau menjadi pendamping kekasih Allah, Ibrahim
As, Nabi pilihan Allah. Ya. Aku bukan siapa-siapa mungkin di sisimu. Tapi aku
bersyukur bisa mengenal sedikit tentangmu. Ya, hanya "sedikit"
mungkin. Sebab ku tahu, ada banyak cerita
tentang kehidupanmu, akhlakmu yang belum ku dengar.
Aku hanya
mengenal kisahmu dari Al-Qur'an, dari buku, dari guru-guruku. Kau muslimah
shalihah dan hebat, istri yang kuat, ibu yang tangguh, pantang menyerah, lembut
dan bersahaja. Begitu kesimpulanku tentangmu. Aku cemburu sebab aku belum bisa
sepertimu. Aku malu sebab aku belum mampu setegar dam seteguh hatimu. Kaulah salah
satu Ibunda untuk diteladani oleh perempuan-perempuan yang beriman, Ibunda Siti
Hajar RA.
Maka, hari ini
Bunda. Aku ingin sekali berbicara dan bercerita denganmu. Karena itu aku
menulis ini dan membayangkan bahwa Bunda sedang mendengar ceritaku.
Dengarkanlah sejenak, Bunda. Ini tentang rasa cinta, rindu dan kagumku padamu.
Bunda…
Meski aku tidak
tahu persis bagaimana rasa sedihnya hati saat ditinggal oleh suamimu dipadang
pasir yang tidak ada kehidupan apapun disana. Tidak ada manusia, tumbuhan,
hewan, makanan. Tidak ada. Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa syaithanpun
tidak ada di sana. Lalu, dengan nada lembut kau bertanya pada suamimu, “Mengapa
engkau meninggalkanku di sini, Wahai Suamiku.” Tapi suamimu tidak menjawab.
Terdiam dan tidak menoleh padamu. Sebab menoleh padamu tentu membuatnya semakin
berat untuk melangkah. Suamimu tidak menjawab sebab ia sedang menahan perasaan
sedihnya meninggalkan istri dan anak bayinya yang telah dinanti begitu lama
kelahiranya. Ia sedang menahan perasaan pilu hatinya meninggalkan istri yang
begitu taat pada Allah dan padanya. Ia membunuh rasa khawatirnya dengan
menitipmu dan anakmu pada-Nya (Lihat: QS. Ibrahim: 37).
Aku tahu dari berbagai
sumber cerita bahwa saat itu kau sempat bingung dengan sikap suamimu. Setelah
ia mengajakmu dan bayimu pergi bersamanya ke Mekkah, ia lalu meninggalkanmu
tanpa memberitahukan tentang keputusan ini sebelumnya padamu. Dan kau pun pada
akhirnya mengerti sendiri bahwa suamimu tidak pernah memperlakukanmu dengan sikap
tidak baik. “Ini pasti karena perintah Allah”, lirihmu dalam hati. Hingga
kau berkata "Jika ini adalah perintah Allah, maka pergilah, Wahai Suamiku. Aku ridha!".
Lihatlah!. Ucapanmu
begitu indah, Bunda. kau tak banyak bertanya, tak ngambek, tak mencaci maki
suamimu atas sikap yang diambilnya. Cinta pada-Nya yang begitu kuat terpatri dalam
dirimu, menuntunmu untuk ridha melepaskannya. Bunda, bagian kisahmu ini menjadi
cambuk bagiku jika terkadang hadirnya rasa berat melepaskan sesuatu yang kucinta
yang sebenarnya adalah milik-Nya. Menjadi alarm bagiku untuk memahami bahwa aku
memamg tidak pernah memiliki apapun di dunia ini. Semuanya hanyalah titipan
yang kapan saja berhak untuk diambil kembali oleh pemilik sejati, Allah Swt.
Bunda…
Aku juga tidak tahu persis seberapa pilu
hatimu sebagai seorang ibu saat melihat anakmu yang masih bayi menangis,
menjerit kehausan. Sedang bekalmu telah habis. Sedang tidak ada air sedikit pun
disekitarmu dan tidak ada manusia yang dapat menolongmu. Hanya Allah dan
seorang bayi yang punya. Tapi, ada sisi lain yang kau miliki yaitu iman yang
kuat pada Allah dank au percaya penuh akan pertolongan Allah.
Lalu kau pun
berjalan mencari air dari bukit Safa ke Marwah. Aku juga tidak tahu seberapa
jauh jarak antara Safa dan Marwah yang kau tempuh saat itu. Aku juga tidak
seberapa mengerti bagaimana lelahnya engkau berlari berulang kali untuk mencari
sumber mata air. Aku tidak tahu, Bunda. Tapi aku bisa membayangkan itu dari
kisah-kisah yang kubaca. Sedikitnya, Aku bisa merasakan apa yang Bunda rasakan.
Dan kisahmu ini selalu kuagungkan dalam diriku. Saat harapan sudah tidak lagi
menyala dalam benakku. Saat semangat sudah tidak lagi berkobar dalam dadaku
sebab usaha-usahaku yang belum berbuah. Kisahmu ini mencahaya dalam benakku
hingga membuatku bisa bangkit kembali.
Bunda, Jiddiyahmu
menakjubkan. Menyadarkanku bahwa Muslimah yang percaya utuh pada Allah tidak
layak untuk menyerah. Jiddiyahmu sungguh begitu bermakna dan membuatku semakin
terkesima padamu. Usaha yang total, doa yang khusyuk, tawakal yang utuh
pada-Nya terlihat dari sikapmu yang terus berlari dan berlari dari Safa ke Marwah
berulang kali. Kisah ini seakan menampar hatiku saat aku merasa ingin menyerah.
Mencambuk batinku saat aku menjadi ragu akan keajaiban Allah. Kisah ini juga
menjadi motivasi yang seakan-akan selalu kau bisikkan dalam hatiku. Kau
yakinkan aku tentang keajaiban dan pertolongan Allah. Kau sadarkan aku bahwa
Allah punya banyak cara untuk menolong. Meski kadang pertolongan-Nya tidak
didapati melalui jalan perjuangan yang ditempuh. Seperti kisahmu, Bunda. Yang
pada akhirnyaa justru air itu muncul dari kaki bayi yang mulia bernama Ismail
As.
Bunda..
Terimkasih untuk cerita mu yang menakjubkan. Untuk perjuangan hebat yang kau contohkan. Maka Bunda, Aku ingin berkata padamu bahwa Aku jatuh cinta padamu. Aku mencintaimu karena Allah. Maka, maukah Bunda mencintaiku yang lemah ini?. Aku ingin berkata padamu bahwa Aku kagum dan rindu padamu. Aku ingin berjumpa dengan-Mu di syurga Allah. Maukah Bunda berjumpa denganku agarku bisa melepaskan rindu yang telah lama membeku di hati ini?. Aku berharap Allah mengizinkaku bermanja denganmu di sana. Di syurga Allah. Dan jika kelak kita berjumpa, bolehkah aku memelukmu?. Sebab ingin sekali aku merasakan kehangatan cinta dari pelukanmu. Semoga boleh. T_T
Terimkasih untuk cerita mu yang menakjubkan. Untuk perjuangan hebat yang kau contohkan. Maka Bunda, Aku ingin berkata padamu bahwa Aku jatuh cinta padamu. Aku mencintaimu karena Allah. Maka, maukah Bunda mencintaiku yang lemah ini?. Aku ingin berkata padamu bahwa Aku kagum dan rindu padamu. Aku ingin berjumpa dengan-Mu di syurga Allah. Maukah Bunda berjumpa denganku agarku bisa melepaskan rindu yang telah lama membeku di hati ini?. Aku berharap Allah mengizinkaku bermanja denganmu di sana. Di syurga Allah. Dan jika kelak kita berjumpa, bolehkah aku memelukmu?. Sebab ingin sekali aku merasakan kehangatan cinta dari pelukanmu. Semoga boleh. T_T
Keren tulisan kk
BalasHapusBoleh bagi tipsnya kk untuk penulis pemula??