Sabtu, 02 Januari 2016

Langit, Sketsa Kehidupan


          
“Aku suka langit, Kak”, kataku padanya suatu hari.
“Kenapa?”, Tanyanya.
“Karena langit selalu memotivasi dan menginsiprasi,”jawabku.”
         Ia tertawa. Mungkin terdengar seperti lebay banget. Tapi ini adalah caraku memaknai salah satu kesempurnaan ciptaan-Nya yang kita sebut langit.  
“Aku rindu melihat langit, Kak. Aku ingin menatap senja”, ungkapku padanya hari itu. Hingga ia pun mengajakku ke sebuah taman. Ini perjalanan kesekian yang membuatku selalu terpesona dengan langit.  Tidak pernah ada rasa jenuh untukku memandangnya sepanjang hari-hari yang kulewati. Apalagi saat ada luka yang menghampiri jiwa. Entah itu karena impianku yang gagal, atau dompetku yang mengering.  Alasan apapun itu, menatap langit selalu membuatku tersenyum kembali. Ya, hamparan langit yang begitu luas seakan sedang memberi isyarat kepadaku bahwa kehidupan ini tidak sesempit dan sesesak dadaku memandang hidup. Ada banyak sisi yang harus dipandang untuk kembali meraih kebahagian sejati.

            Bagiku langit bukan sekedar tempatku bernaung di bumi ini. Bukan juga sekedar tempatku menatap sinar matahari yang mencerahkan warnanya setiap pagi. Bukan juga tempatku mengintip tetesan hujan yang mengalir dari celah-celahnya. Tidak seperti itu aku memaknai langit. Langit, adalah gambaran kehidupan ini. Ia bercerita tentang hakikat kehidupan yang punya  banyak warna. Tidak selalu putih, kuning, hijau, merah, biru. Tapi juga terkadang bermakna hitam, coklat, abu-abu. Eeiittts, ini bukan sedang bercerita tentang warna kue, tapi ini tentang kehidupan di dunia, tempat terjadinya berbagai peristiwa.
            Langit mengerti bahwa hidup ini tidak akan selamanya cerah. Tidak semua harapan-harapan yang telah tertata rapi dapat digenggam dengan begitu mudah. Kadang perlu perjuangan panjang untuk bisa meraihnya. Seperti langit berjuang mengusir awan mendung yang menghalangi wajah cerahnya. Kalaulah setiap detik, menit, jam kita bisa mendapatkan dengan mudah apa saja yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah bisa memahami dan mengerti rasa bahagianya mendapatkan apa yang kita inginkan. Seperti langit, jika ia selalu cerah setiap helaan nafas kita, mungkin kita pun jenuh memandangnya. Karena seperti itulah sifat dasar manusia, bahwa ia sering sekali merasa jenuh dengan aktivitas yang tidak berinovasi atau ia sering lupa arti rasa memiliki ketika yang ia selalu saja mudah untuk ia dapati. Dan inilah yang setiap hari diajarkan oleh langit pada manusia.
            Udara, contohnya. Ia yang begitu mudah untuk kita hirup setiap detik membuat kita sering lupa untuk mensyukurinya. Hingga kita pun mengeluh kepada Tuhan sebab nikmat-nikmat lain yang tidak bisa kita genggam. Kita pun merasa bahwa Tuhan tidak adil dalam memberi nikmat untuk hamba-Nya. Ada sebagian hamba yang begitu kaya, begitu mudah mendapatkan harta, mobil, rumah mewah dan lain sebagainya. Perjuanganya mulus banget. Mendapatkan uang semacam mengutip daun yang jatuh. Mudah banget. Sedang kita harus terseok-seok, terjatuh berkali-kali untuk bisa seperti mereka. Lantas kita pun membandingkan diri dengan mereka sambil berkata “Ini tidak adil”. Padahal, ada banyak nikmat yang tanpa kita minta ternyata Allah berikan kepada kita karena kasih dan kemurahan-Nya. Nikmat menghirup udara, nikmat sehat, nikmat iman dan lain sebagainya. Barulah kita mengerti betapa berharganya nikmat udara ketika kita tidak bisa lagi menghirupnya dengan mudah karena penyakit Asma atau sesak nafas misalnya. Pada titik kejadian seperti itu kita baru tersadar betapa Allah Maha Pemurah atas nikmatnya yang berlimpah dan tidak terhingga. Bahkan dalam setumpuk kemaksiatan kita pada-Nya, Allah masih bermurah hati untuk menaburi hari-hari dengan nikmat-Nya yang tidak ada yang mampu menghitungnya hatta ahli matematika sekalipun. Begitulah ungkap Allah dalam Al-Qur’an “…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”. (QS. Ibrahim: 34)      
            Masih tentang langit, ia juga bercerita tentang hujan. Bahwa hidup ini tidak pernah lepas dari air mata dan memang air mata diciptakan untuk diteteskan. Seperti butiran hujan yang diciptakan untuk membasahi bumi. Tidaklah mengapa jika memang kita harus menangis, sebab terkadang mata yang tidak pernah menangis justru membuat perasaan selamanya membeku, tersesak menahan luka. Atau hati yang akan membatu sebab tidak lagi peka sehingga tidak mampu meneteskan air mata. Seperti langit, jika ia tidak membiarkan hujan menetes, selamanya langit akan menghitam bersebab mendung yang menghalanginya untuk kembali cerah.
            Pernahkah anda merasa lebih lega perasaannya setelah menumpahkan air mata?. Ya, langitpun begitu, tidak jauh berbeda dengan langit hati kita. Langit akan kembali cerah usai menumpahkan tetesan hujan. Tidak lagi terlihat butiran yang membeku dalam bentuk mendung. Tidak lagi terlihat awan hitam yang membuat terhalangnya langit untuk tampil cerah di depan makhluk bumi. Pun, begitu juga langit hati kita. Tumpukan masalah dan beban, sesaknya luka dan derita sering sekali menciptakan awan mendung di hati sehingga ia menjadi sulit bagi mata hati untuk menatap dunia dengan kaca mata yang jernih. Saat awan mendung menyesaki langit hati, saat itu kita sering merasa beban kita begitu berat, luka kita begitu perih, derita kita begitu pedih. Padahal kita bukanlah satu-satunya makhluk Allah yang ditimpa sederatan peristiwa itu. Ada banyak langit hati yang merasakan hal yang sama bahkan lebih parah lagi. Karena itu, awan mendung itu harus dibiarkan terleraikan menjadi tetesan bening yang mengalir dari pelupuk mata kita. Agar mata dan hati kita menjadi jernih dan cerah kembali. Dan kita pun dapat menatap dunia ini dengan mata hati yang lebih bercahaya hingga sedertan hikmah pun dapat dipetik dan dipahami.
        Seperti ungkapnya A. Mukhlis dalam buku “Jiwa-jiwa gagah yang Pantang Menyerah bahwa Kesedihan dalam porsinya sebagai kemanusian tidak bisa dibunuh, tapi kita bisa mengendalikan. Ketika sedih melanda dada, silahkan menangis. Namun, tidak perlu perkeruh keadaan dengan melebih-lebihkannya. Yang sudah digariskan pasti terjadi. Kita sedih atau tidak, pasti dan telah terjadi. Respon sesaat itu wajar. Menjadikannya episode panjang itu tidak wajar.
           Ada lagi yang paling aku sukai dari langit. Yaitu pelangi. Saat ia harus menangis dalam tetesan hujan, langit ternyata masih saja berkarya untuk makhluk bumi. Ia menciptakan warna-warna yang indah dari pancaran gerimis yang berpadu dengan cahaya matahari. Aku suka karya langit yang bernama pelangi ini. Sebab ia mengajari aku tentang cara memaknai tetesan air mata yang sering tidak dapat dihindari atas peristiwa-peristiwa yang menimpa. Ia seakan berkata padaku bahwa luka tidak selamanya berbuah nestapa. Orang-orang pesimis mungkin memandang luka tidak lebih sebagai kepahitan yang menyengsarakan kehidupan, melumpuhkan aktivitas kebaikan. Sehingga tidak mau lagi menatap sesama, melihat dunia. Hanya mengurungkan diri dalam kamar atau membiarkan diri terus berada dalam perasaan menyesal dan frustasi. Tapi orang-orang yang beriman tidak seperti itu memaknai luka, derita ataupun kesedihan. Dalam hadist Rasulullah menyebutkan:
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)
Allah pun memberikan kalimat motivasi yang sangat indah di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
          …Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang beriman” (QS. Yusuf: 87)
Ya, seperti itulah seharusnya kita memaknai peristiwa. Seperti langit memaknai tetesan hujan. Ia tetap berusaha berkaya untuk semesta dengan memanfaatkan potensi yang ada. Berusaha memadukan gerimis hujan dan cahaya matahari menjadi karya yang memesona setiap mata manusia yang memandang. Ia, pelangi  mengajari kita cara membalut derita menjadi berkah. Membungkus luka menjadi full-karya.
            Mungkin inilah yang Allah maksudkan dalam beberapa ayat Allah dalam Al-Qur’an bahwa dalam setiap penciptannya terdapat tanda-tanda bagi orang yang berimana. Dan ini adalah salah satu tanda yang aku pahami dari ciptaannya yang bernama langit. Tentu ada banyak tanda-tanda lainnya yang bisa dijadikan pelajaran untuk kita pada setiap ciptaan-Nya. Karena memang sejatinya alam ini tidak diam dan seluruh ciptaanya yang terlihat diam pun sebenarnya tidak diam, tidak bisu. Ia berbicara, ia tidak henti memberi pelajaran dengan bahasa isyaratnya pada manusia. Hanya saja terkadang mata hati kita tidak begitu jernih untuk memahaminya. Dan ini adalah bahasa yang aku pahami dari langit. Bahwa langit bercerita tentang kehidupan yang penuh warna warni. Tugas kita adalah menikmati setiap warna kehidupan dengan penuh kebijaksanaan bukan dengan sikap pesimis atau keputusasaan. Ya, langit memesan kita untuk tidak seperti itu. Karena itu, bercakalah pada langit karena di sana ada lukisan tentang sketsa kehidupan.       
            ***
            Matahari pun kembali ke peraduannya. Pertanda bahwa siang akan pergi dan malam akan menyapa. Aku segera bergegas untuk kembali ke rumah bersama kakakku. Sambil berjalan menuju pintu gerbang keluar taman, aku berkata pada kakakku :
 “Kak, Aku ingin seperti langit yang ber-pelangi dalam lukanya.”
            “Aku juga, Dek,” jawabnya.
Dan kami pun tersenyum.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan". (QS. Al-Baqarah: 164)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar