“Aku suka langit,
Kak”, kataku padanya suatu hari.
“Kenapa?”, Tanyanya.
“Karena langit
selalu memotivasi dan menginsiprasi,”jawabku.”
Ia tertawa.
Mungkin terdengar seperti lebay banget. Tapi ini adalah caraku memaknai
salah satu kesempurnaan ciptaan-Nya yang kita sebut langit.
“Aku rindu melihat langit, Kak. Aku ingin menatap senja”, ungkapku
padanya hari itu. Hingga ia pun mengajakku ke sebuah taman. Ini perjalanan kesekian
yang membuatku selalu terpesona dengan langit.
Tidak pernah ada rasa jenuh untukku memandangnya sepanjang hari-hari
yang kulewati. Apalagi saat ada luka yang menghampiri jiwa. Entah itu karena
impianku yang gagal, atau dompetku yang mengering. Alasan apapun itu, menatap langit selalu
membuatku tersenyum kembali. Ya, hamparan langit yang begitu luas seakan sedang
memberi isyarat kepadaku bahwa kehidupan ini tidak sesempit dan sesesak dadaku
memandang hidup. Ada banyak sisi yang harus dipandang untuk kembali meraih
kebahagian sejati.
Bagiku langit
bukan sekedar tempatku bernaung di bumi ini. Bukan juga sekedar tempatku
menatap sinar matahari yang mencerahkan warnanya setiap pagi. Bukan juga
tempatku mengintip tetesan hujan yang mengalir dari celah-celahnya. Tidak
seperti itu aku memaknai langit. Langit, adalah gambaran kehidupan ini. Ia
bercerita tentang hakikat kehidupan yang punya banyak warna. Tidak selalu putih, kuning,
hijau, merah, biru. Tapi juga terkadang bermakna hitam, coklat, abu-abu. Eeiittts,
ini bukan sedang bercerita tentang warna kue, tapi ini tentang kehidupan di
dunia, tempat terjadinya berbagai peristiwa.
Langit mengerti
bahwa hidup ini tidak akan selamanya cerah. Tidak semua harapan-harapan yang
telah tertata rapi dapat digenggam dengan begitu mudah. Kadang perlu perjuangan
panjang untuk bisa meraihnya. Seperti langit berjuang mengusir awan mendung
yang menghalangi wajah cerahnya. Kalaulah setiap detik, menit, jam kita bisa
mendapatkan dengan mudah apa saja yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah
bisa memahami dan mengerti rasa bahagianya mendapatkan apa yang kita inginkan.
Seperti langit, jika ia selalu cerah setiap helaan nafas kita, mungkin kita pun
jenuh memandangnya. Karena seperti itulah sifat dasar manusia, bahwa ia sering
sekali merasa jenuh dengan aktivitas yang tidak berinovasi atau ia sering lupa
arti rasa memiliki ketika yang ia selalu saja mudah untuk ia dapati. Dan inilah
yang setiap hari diajarkan oleh langit pada manusia.
Udara, contohnya. Ia yang begitu mudah untuk kita hirup setiap
detik membuat kita sering lupa untuk mensyukurinya. Hingga kita pun mengeluh
kepada Tuhan sebab nikmat-nikmat lain yang tidak bisa kita genggam. Kita pun
merasa bahwa Tuhan tidak adil dalam memberi nikmat untuk hamba-Nya. Ada
sebagian hamba yang begitu kaya, begitu mudah mendapatkan harta, mobil, rumah
mewah dan lain sebagainya. Perjuanganya mulus banget. Mendapatkan uang
semacam mengutip daun yang jatuh. Mudah banget. Sedang kita harus terseok-seok,
terjatuh berkali-kali untuk bisa seperti mereka. Lantas kita pun membandingkan
diri dengan mereka sambil berkata “Ini tidak adil”. Padahal, ada banyak nikmat
yang tanpa kita minta ternyata Allah berikan kepada kita karena kasih dan
kemurahan-Nya. Nikmat menghirup udara, nikmat sehat, nikmat iman dan lain
sebagainya. Barulah kita mengerti betapa berharganya nikmat udara ketika kita tidak
bisa lagi menghirupnya dengan mudah karena penyakit Asma atau sesak nafas
misalnya. Pada titik kejadian seperti itu kita baru tersadar betapa Allah Maha
Pemurah atas nikmatnya yang berlimpah dan tidak terhingga. Bahkan dalam setumpuk
kemaksiatan kita pada-Nya, Allah masih bermurah hati untuk menaburi hari-hari
dengan nikmat-Nya yang tidak ada yang mampu menghitungnya hatta ahli matematika
sekalipun. Begitulah ungkap Allah dalam Al-Qur’an “…Dan jika kamu menghitung
nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu
sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”. (QS. Ibrahim: 34)
Masih tentang langit, ia juga
bercerita tentang hujan. Bahwa hidup ini tidak pernah lepas dari air mata dan
memang air mata diciptakan untuk diteteskan. Seperti butiran hujan yang
diciptakan untuk membasahi bumi. Tidaklah mengapa jika memang kita harus
menangis, sebab terkadang mata yang tidak pernah menangis justru membuat
perasaan selamanya membeku, tersesak menahan luka. Atau hati yang akan membatu
sebab tidak lagi peka sehingga tidak mampu meneteskan air mata. Seperti langit,
jika ia tidak membiarkan hujan menetes, selamanya langit akan menghitam
bersebab mendung yang menghalanginya untuk kembali cerah.
Pernahkah anda
merasa lebih lega perasaannya setelah menumpahkan air mata?. Ya, langitpun
begitu, tidak jauh berbeda dengan langit hati kita. Langit akan kembali cerah
usai menumpahkan tetesan hujan. Tidak lagi terlihat butiran yang membeku dalam
bentuk mendung. Tidak lagi terlihat awan hitam yang membuat terhalangnya langit
untuk tampil cerah di depan makhluk bumi. Pun, begitu juga langit hati kita.
Tumpukan masalah dan beban, sesaknya luka dan derita sering sekali menciptakan
awan mendung di hati sehingga ia menjadi sulit bagi mata hati untuk menatap
dunia dengan kaca mata yang jernih. Saat awan mendung menyesaki langit hati,
saat itu kita sering merasa beban kita begitu berat, luka kita begitu perih,
derita kita begitu pedih. Padahal kita bukanlah satu-satunya makhluk Allah yang
ditimpa sederatan peristiwa itu. Ada banyak langit hati yang merasakan hal yang
sama bahkan lebih parah lagi. Karena itu, awan mendung itu harus dibiarkan
terleraikan menjadi tetesan bening yang mengalir dari pelupuk mata kita. Agar
mata dan hati kita menjadi jernih dan cerah kembali. Dan kita pun dapat menatap
dunia ini dengan mata hati yang lebih bercahaya hingga sedertan hikmah pun
dapat dipetik dan dipahami.
Seperti ungkapnya A. Mukhlis dalam buku “Jiwa-jiwa gagah yang Pantang
Menyerah bahwa Kesedihan dalam porsinya sebagai kemanusian tidak bisa dibunuh,
tapi kita bisa mengendalikan. Ketika sedih melanda dada, silahkan menangis.
Namun, tidak perlu perkeruh keadaan dengan melebih-lebihkannya. Yang sudah
digariskan pasti terjadi. Kita sedih atau tidak, pasti dan telah terjadi.
Respon sesaat itu wajar. Menjadikannya episode panjang itu tidak wajar.
Ada lagi yang
paling aku sukai dari langit. Yaitu pelangi. Saat ia harus menangis dalam
tetesan hujan, langit ternyata masih saja berkarya untuk makhluk bumi. Ia
menciptakan warna-warna yang indah dari pancaran gerimis yang berpadu dengan
cahaya matahari. Aku suka karya langit yang bernama pelangi ini. Sebab ia
mengajari aku tentang cara memaknai tetesan air mata yang sering tidak dapat
dihindari atas peristiwa-peristiwa yang menimpa. Ia seakan berkata padaku bahwa
luka tidak selamanya berbuah nestapa. Orang-orang pesimis mungkin memandang
luka tidak lebih sebagai kepahitan yang menyengsarakan kehidupan, melumpuhkan
aktivitas kebaikan. Sehingga tidak mau lagi menatap sesama, melihat dunia.
Hanya mengurungkan diri dalam kamar atau membiarkan diri terus berada dalam
perasaan menyesal dan frustasi. Tapi orang-orang yang beriman tidak seperti itu
memaknai luka, derita ataupun kesedihan. Dalam hadist Rasulullah menyebutkan:
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang
beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu
tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan
kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan
yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR.
Muslim)
Allah pun memberikan kalimat motivasi yang sangat indah di dalam
Al-Qur’an. Allah berfirman:
…Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang beriman” (QS. Yusuf: 87)
Ya, seperti itulah seharusnya kita memaknai peristiwa. Seperti langit
memaknai tetesan hujan. Ia tetap berusaha berkaya untuk semesta dengan
memanfaatkan potensi yang ada. Berusaha memadukan gerimis hujan dan cahaya
matahari menjadi karya yang memesona setiap mata manusia yang memandang. Ia,
pelangi mengajari kita cara membalut
derita menjadi berkah. Membungkus luka menjadi full-karya.
Mungkin inilah
yang Allah maksudkan dalam beberapa ayat Allah dalam Al-Qur’an bahwa dalam
setiap penciptannya terdapat tanda-tanda bagi orang yang berimana. Dan ini
adalah salah satu tanda yang aku pahami dari ciptaannya yang bernama langit.
Tentu ada banyak tanda-tanda lainnya yang bisa dijadikan pelajaran untuk kita
pada setiap ciptaan-Nya. Karena memang sejatinya alam ini tidak diam dan seluruh ciptaanya yang terlihat diam pun sebenarnya tidak diam, tidak bisu. Ia berbicara, ia tidak henti memberi
pelajaran dengan bahasa isyaratnya pada manusia. Hanya saja terkadang mata hati
kita tidak begitu jernih untuk memahaminya. Dan ini adalah bahasa yang aku
pahami dari langit. Bahwa langit bercerita tentang kehidupan yang penuh warna
warni. Tugas kita adalah menikmati setiap warna kehidupan dengan penuh
kebijaksanaan bukan dengan sikap pesimis atau keputusasaan. Ya, langit memesan
kita untuk tidak seperti itu. Karena itu, bercakalah pada langit karena di sana
ada lukisan tentang sketsa kehidupan.
***
Matahari pun
kembali ke peraduannya. Pertanda bahwa siang akan pergi dan malam akan menyapa.
Aku segera bergegas untuk kembali ke rumah bersama kakakku. Sambil berjalan
menuju pintu gerbang keluar taman, aku berkata pada kakakku :
“Kak, Aku ingin seperti
langit yang ber-pelangi dalam lukanya.”
“Aku juga, Dek,”
jawabnya.
Dan kami pun tersenyum.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati -nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan". (QS. Al-Baqarah: 164)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar