Oleh : Majidah Nur binti Darmin
“Mesin Tik yang mana?” tanya Mak
sambil membantuku packing
barang-barang yang akan dibawa ke Banda Aceh.
“Mesin Tik yang dibawa ke MTQ itu
loh, Mak! Tadi Pak Amran telepon dan minta dianterin Mesin Tik ke kantor LPTQ. Tolong
sampain ke Ayah ya, Mak! Biar Ayah yang antarin”. Pintaku pada Mamak.
Tiba-tiba Mamak berhenti menaruh
barang ke dalam kardus dan memutar memorinya untuk mengingat Mesin Tik itu. Aku
terus sibuk mengambil semua kebutuhanku untuk diletakkan ke dalam kardus. Mulai
dari sayur, beras, buah-buahan dll. Sudah menjadi kebiasaanku membawa berbagai
kebutuhan dari kampung disetiap balek ke Banda Aceh. Karena memang disana aku
nge-kos bareng kawan-kawan. Karena itu, aku memilih untuk membawa beberapa kebutuhanku
dari kampung untuk mengurangi biaya pengeluaran di sana.
“Oh,
iya!!!, Mamak ingat”. Sontak suara mamak membuatku ikut berhenti menaruh barang
yang hampir saja selesai. Lalu, ku pusatkan padanganku pada Mamak. “Gara-gara
ambil mesin itu lah Ayah jatuh Sepeda Motor, Nak! “ lanjut Mamak.
“Hah? Apa??? Ayah jatuh gegara ambil
Mesin Tik?” aku bertanya dengan nada terkejut.
“Ia, Ayah tertabrak”.
Aku menunduk dan terdiam.
Memang, dua minggu yang lalu aku dan
adikku berangkat ke Batam. Kami mewakili Aceh pada ajang MTQ Nasional di Kota
Batam, Kepulauan Riau. Aku sendiri mengikuti lomba bidang MMQ (Menulis Makalah
Al-Qur’an) dan adikku di bidang Fahmil Qur’an. Sudah menjadi kewajiban bagi
peserta MMQ untuk membawa Mesin Tik Portaibel, karena peserta akan menulis
karya tulisnya dengan menggunakan alat tersebut. Dan mesin yang ku bawa itu adalah
pinjaman dari kantor LPTQ (Lembaga Pengembagan Tilawatil Qur’an) Nagan Raya.
Sebelum
berangkat ke Batam aku minta kepada Ayah untuk mengambil Mesin Tik di kantor
LPTQ. Dan aku pun sudah tahu kalau Ayah
jatuh dari Sepeda Motor beberapa minggu yang lalu. Tapi aku tidak tahu persis
kronologis kejadian hari itu. Dan Ayah tak cerita padaku bahwa ia mengalami
kecelakaan di saat mengambil Mesin Tik.
Setiba
saja dadaku terasa sesak mendengar kejadian ini, aku membeku dalam diamku. Ada
dentuman-dentuman pertanyaan yang melesat dalam batin. “Kenapa kamu nggak tahu?
Kenapa kamu tidak bertanya atas sebab Ayah ditabrak? Pada mama kah? Pada
Abangkah? Pada Kakak kah? Kenapa? Kenapa kamu nggak bertanya sebelumnya?”. Aku
menyalahkan diriku sendiri. Dentuman pertanyaan itu hanya bersuara dalam
batinku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini adalah kali kedua aku menjadi
penyebab Ayah terluka karena tertabrak. Aku menyesal.
Tiiiiiiit….Tiiiittt,
terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Mobil yang hendak kutumpangi sudah
tiba menjemputku. Aku segera bergegas membungkus kardusku lalu menaikinya ke dalam
mobil dan berpamitan dengan Mamak, Kakak dan Adik. Kebetulan Ayah dan Abang
sedang tidak ada di rumah ketika itu.
Mobil L300 terus melaju meninggalkan
kampung halamanku, Nagan Raya. Masih terngiang-ngiang di telingaku cerita Ayah
tertabrak. Setiba mataku mulai tidak sanggup untuk menampung tetesan bening.
Dan akhirnya benar-benar tumpah membanjir karena membanyangkan pengorbanan Ayah
untukku. Mengeja cinta Ayah semakin membuatku terisak dalam kesendirian di
sudut kursi mobil dekat jendela. Tidak ada yang tahu isakku dalam gelap malam
itu.
***
Langit
telihat semakin gelap, tak ada cahaya bintang disana. Tak terlihat keindahan kerlap-kerlip
lampu di sekitaran perjalanan. Hanya bayangan gunung Guruteu yang tampak
menjulang dari kejauhan. Entah, mungkin karena suasana hatiku yang lagi kelam.
Dalam pikiranku yang tergambar hanyalah ‘Ayah’. Bayangan lelaki separuh baya itu
tetap saja melayang dalam benakku. Memoriku pun terus mengajakku mengenang
segenap pengorbaban Ayah.
Tragedi 2009
Braaaaakkk….!!!
Aku terseret beberapa meter. Pipiku
menempel pada aspal jalanan. Seperti tak tersadarkan diri. Aku lirik Ayah yang
juga terhempas di atas aspal. Aku seperti tak sadarkan dan tak ingat penyebab
kami terjatuh dari sepeda motor. Tiba-tiba saja tubuhku sudah terbaring di atas
jalan raya. Entah Ayah yang menabrak atau ditabrak? Entah. Aku tak tau.
Orang-orang disekitar mulai
berkerumun untuk ikut bantu membangun kan ku dan Ayahku.
“Ada luka, Nak! Ayah langsung
menghampiriku yang dibopong oleh seorang ibu, warga disekitar lokasi
kecelakaan.
“Nggak ada, Ayah”. Cuma lutut saja
lecet sedikit.
“Aku melihat wajah Ayah dalam-dalam.
Terlihat pucat. Celana bagian lututnya koyak. Alhamdulillah. Tidak ada yang
luka parah. Ayah masih sanggup bawa sepeda motor.
“Yuk,kita pulang” kata Ayah.
“Tapi, Ayah lagi pucat, takut
terjadi apa-apa lagi nanti, Yah!”
“Sudah, nggak pa pa, Ayah masih
sanggup”
Aku bergegas mengambil tas sekolah
untuk segera pulang dengan Ayah. Hari itu adalah hari pertama aku sekolah di
SMAN 1 Seunagan. Aku adalah murid pindahan di sekolah ini. Tepatnya di kelas
dua aku mulai menyegam pendidikan di sini setelah sebelumnya menimba ilmu satu
tahun di MAPK Putri Meulaboh. Dan hari itu Ayah menjemputku disekolah jam 18.00
karena hari pertama sekolah aku sudah mulai mengikuti program belajar tambahan
di sekolah ini.
Kejutan di MTQ Subulussalam
Malam
itu, tiba-tiba saja Aku dikejutkan dengan sebuah sms.
“Nak,
Ayah sudah di Arena utama MTQ.” Pesan Ayah masuk ke handphoneku tepat jam 3.00
malam hari.
Aku
shock membaca SMS Ayah. Malam itu aku masih bergadang karena harus
mempersiapkan slide power point untuk
tampil presentasi di babak final esok harinya.
Dengan
kepanikan aku segera menelpon Ayah.
“Assalamu’alaikum
Ayah, Ayah pergi dengan siapa? Naik mobil apa Ayah kesini”. Tanyaku.
“Ayah
pigi naik Bus sama Adik Ahmad”. Jawab Ayah
“Bus
nya dimana sekarang?”. Tanyaku lagi
“Bus
nya udah pigi, karena Ayah minta diturunin disini.”
Ya Allah, aku semakin panik. Jam
segini Ayah sendirian di arena utama dengan adik. Udara diluar dingin sekali, suasan
pun sangat sepi, nggak da yang kenal pun disana. “Ya Allah, gimana ini?”
gumamku dalam hati.
Akhirnya,
aku mencoba membangunkan Pak Amran salah satu panitia dari kabupaten ku.
Berkali-kali aku menelponnya tetap tidak diangkat. “Mungki sudah tidur” kataku
dalam hati. Segera aku cari alternatif lain. Dengan terpaksa aku harus menelpon
kawanku yang laki-laki. Aku tau tak ahsan menelpon laki-laki jam segitu. Tapi
harus bagaimana lagi. Aku sendiri tak berani untuk menjemput Ayah malam-malam.
Dan Alhamdulillah ada panitia bersedia menjemput Ayah untuk dibawa ke tempat
penginapan kami.
Tiba-tiba
handponeku berbunyi, tertera nama panitia yang menjemput Ayahku menelponku,
secepatnya aku mengangkatnya.
“Majidah,
Ayah nggak ada di arena utama” tutur panitia.
Ya Allah, aku semakin panik, tangan
ku mulai mendingin. “Ya Allah, Ayah kemana, kenapa nggak da di arena utama”
desisku didalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar