Kamis, 09 Oktober 2014

Lelaki Cahaya


Oleh : Majidah Nur binti Darmin
            “Mesin Tik yang mana?” tanya Mak sambil membantuku packing barang-barang yang akan dibawa ke Banda Aceh.
            “Mesin Tik yang dibawa ke MTQ itu loh, Mak! Tadi Pak Amran telepon dan minta dianterin Mesin Tik ke kantor LPTQ. Tolong sampain ke Ayah ya, Mak! Biar Ayah yang antarin”. Pintaku pada Mamak.
            Tiba-tiba Mamak berhenti menaruh barang ke dalam kardus dan memutar memorinya untuk mengingat Mesin Tik itu. Aku terus sibuk mengambil semua kebutuhanku untuk diletakkan ke dalam kardus. Mulai dari sayur, beras, buah-buahan dll. Sudah menjadi kebiasaanku membawa berbagai kebutuhan dari kampung disetiap balek ke Banda Aceh. Karena memang disana aku nge-kos bareng kawan-kawan. Karena itu, aku memilih untuk membawa beberapa kebutuhanku dari kampung untuk mengurangi biaya pengeluaran di sana.
“Oh, iya!!!, Mamak ingat”. Sontak suara mamak membuatku ikut berhenti menaruh barang yang hampir saja selesai. Lalu, ku pusatkan padanganku pada Mamak. “Gara-gara ambil mesin itu lah Ayah jatuh Sepeda Motor, Nak! “ lanjut Mamak.
            “Hah? Apa??? Ayah jatuh gegara ambil Mesin Tik?” aku bertanya dengan nada terkejut.
            “Ia, Ayah tertabrak”.
            Aku menunduk dan terdiam.

            Memang, dua minggu yang lalu aku dan adikku berangkat ke Batam. Kami mewakili Aceh pada ajang MTQ Nasional di Kota Batam, Kepulauan Riau. Aku sendiri mengikuti lomba bidang MMQ (Menulis Makalah Al-Qur’an) dan adikku di bidang Fahmil Qur’an. Sudah menjadi kewajiban bagi peserta MMQ untuk membawa Mesin Tik Portaibel, karena peserta akan menulis karya tulisnya dengan menggunakan alat  tersebut. Dan mesin yang ku bawa itu adalah pinjaman dari kantor LPTQ (Lembaga Pengembagan Tilawatil Qur’an) Nagan Raya.
Sebelum berangkat ke Batam aku minta kepada Ayah untuk mengambil Mesin Tik di kantor LPTQ. Dan aku pun sudah  tahu kalau Ayah jatuh dari Sepeda Motor beberapa minggu yang lalu. Tapi aku tidak tahu persis kronologis kejadian hari itu. Dan Ayah tak cerita padaku bahwa ia mengalami kecelakaan di saat mengambil Mesin Tik.
Setiba saja dadaku terasa sesak mendengar kejadian ini, aku membeku dalam diamku. Ada dentuman-dentuman pertanyaan yang melesat dalam batin. “Kenapa kamu nggak tahu? Kenapa kamu tidak bertanya atas sebab Ayah ditabrak? Pada mama kah? Pada Abangkah? Pada Kakak kah? Kenapa? Kenapa kamu nggak bertanya sebelumnya?”. Aku menyalahkan diriku sendiri. Dentuman pertanyaan itu hanya bersuara dalam batinku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini adalah kali kedua aku menjadi penyebab Ayah terluka karena tertabrak. Aku menyesal.
Tiiiiiiit….Tiiiittt, terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Mobil yang hendak kutumpangi sudah tiba menjemputku. Aku segera bergegas membungkus kardusku lalu menaikinya ke dalam mobil dan berpamitan dengan Mamak, Kakak dan Adik. Kebetulan Ayah dan Abang sedang tidak ada di rumah ketika itu.
            Mobil L300 terus melaju meninggalkan kampung halamanku, Nagan Raya. Masih terngiang-ngiang di telingaku cerita Ayah tertabrak. Setiba mataku mulai tidak sanggup untuk menampung tetesan bening. Dan akhirnya benar-benar tumpah membanjir karena membanyangkan pengorbanan Ayah untukku. Mengeja cinta Ayah semakin membuatku terisak dalam kesendirian di sudut kursi mobil dekat jendela. Tidak ada yang tahu isakku dalam gelap malam itu.
            ***
Langit telihat semakin gelap, tak ada cahaya bintang disana. Tak terlihat keindahan kerlap-kerlip lampu di sekitaran perjalanan. Hanya bayangan gunung Guruteu yang tampak menjulang dari kejauhan. Entah, mungkin karena suasana hatiku yang lagi kelam. Dalam pikiranku yang tergambar hanyalah ‘Ayah’. Bayangan lelaki separuh baya itu tetap saja melayang dalam benakku. Memoriku pun terus mengajakku mengenang segenap pengorbaban Ayah.
Tragedi 2009
            Braaaaakkk….!!!
            Aku terseret beberapa meter. Pipiku menempel pada aspal jalanan. Seperti tak tersadarkan diri. Aku lirik Ayah yang juga terhempas di atas aspal. Aku seperti tak sadarkan dan tak ingat penyebab kami terjatuh dari sepeda motor. Tiba-tiba saja tubuhku sudah terbaring di atas jalan raya. Entah Ayah yang menabrak atau ditabrak? Entah. Aku tak tau.
            Orang-orang disekitar mulai berkerumun untuk ikut bantu membangun kan ku dan Ayahku.
            “Ada luka, Nak! Ayah langsung menghampiriku yang dibopong oleh seorang ibu, warga disekitar lokasi kecelakaan.
            “Nggak ada, Ayah”. Cuma lutut saja lecet sedikit.
            “Aku melihat wajah Ayah dalam-dalam. Terlihat pucat. Celana bagian lututnya koyak. Alhamdulillah. Tidak ada yang luka parah. Ayah masih sanggup bawa sepeda motor.
             “Yuk,kita pulang” kata Ayah.
            “Tapi, Ayah lagi pucat, takut terjadi apa-apa lagi nanti, Yah!”
            “Sudah, nggak pa pa, Ayah masih sanggup”
            Aku bergegas mengambil tas sekolah untuk segera pulang dengan Ayah. Hari itu adalah hari pertama aku sekolah di SMAN 1 Seunagan. Aku adalah murid pindahan di sekolah ini. Tepatnya di kelas dua aku mulai menyegam pendidikan di sini setelah sebelumnya menimba ilmu satu tahun di MAPK Putri Meulaboh. Dan hari itu Ayah menjemputku disekolah jam 18.00 karena hari pertama sekolah aku sudah mulai mengikuti program belajar tambahan di sekolah ini.
Kejutan di MTQ Subulussalam
Malam itu, tiba-tiba saja Aku dikejutkan dengan sebuah sms.
“Nak, Ayah sudah di Arena utama MTQ.” Pesan Ayah masuk ke handphoneku tepat jam 3.00 malam hari.
Aku shock membaca SMS Ayah. Malam itu aku masih bergadang karena harus mempersiapkan slide power point untuk tampil presentasi di babak final esok harinya.
Dengan kepanikan aku segera menelpon Ayah.
“Assalamu’alaikum Ayah, Ayah pergi dengan siapa? Naik mobil apa Ayah kesini”. Tanyaku.
“Ayah pigi naik Bus sama Adik Ahmad”. Jawab Ayah
“Bus nya dimana sekarang?”. Tanyaku lagi
“Bus nya udah pigi, karena Ayah minta diturunin disini.”
            Ya Allah, aku semakin panik. Jam segini Ayah sendirian di arena utama dengan adik. Udara diluar dingin sekali, suasan pun sangat sepi, nggak da yang kenal pun disana. “Ya Allah, gimana ini?” gumamku dalam hati.
Akhirnya, aku mencoba membangunkan Pak Amran salah satu panitia dari kabupaten ku. Berkali-kali aku menelponnya tetap tidak diangkat. “Mungki sudah tidur” kataku dalam hati. Segera aku cari alternatif lain. Dengan terpaksa aku harus menelpon kawanku yang laki-laki. Aku tau tak ahsan menelpon laki-laki jam segitu. Tapi harus bagaimana lagi. Aku sendiri tak berani untuk menjemput Ayah malam-malam. Dan Alhamdulillah ada panitia bersedia menjemput Ayah untuk dibawa ke tempat penginapan kami.
Tiba-tiba handponeku berbunyi, tertera nama panitia yang menjemput Ayahku menelponku, secepatnya aku mengangkatnya.
“Majidah, Ayah nggak ada di arena utama” tutur panitia.
            Ya Allah, aku semakin panik, tangan ku mulai mendingin. “Ya Allah, Ayah kemana, kenapa nggak da di arena utama” desisku didalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar