Hanya ingin menulis apa yang pernah didengar dan dibaca. Anggap saja
para pembaca sedang mengikuti sebuah kajian yang pematerinya adalah
ustaz/ah. Karena memang ini adalah nasehat mereka yang saya rangkum
menjadi sebuah tulisan sederhana. Jangan anggap ini nasehat saya jika
memang saya belum pantas untuk berbagi tentang ini. Karena jika dilihat
dari segi "status", mungkin saya memang kurang cocok untuk menasehati
perkara ini. Apapun itu, intinya saya tetap mau menulis tentang ini, terserah mau bilang apa. hehe
Baik, saya mulai. Dalam sebuah pertemuan seorang ustazah berkata :
"Menikah itu sejatinya haruslah membuat keimanan kita semakin kokoh.
Pun, begitu juga paham keislaman kita, haruslah semakin membaik.Dalam
segala permasalahan lain pun haruslah kuat. Sebab,hakikatnya berjalan
berdua itu lebih menguatkan daripada sendiri."
Ya, kalau ketika
masih "sendiri" kita mendekati-Nya hanya dengan merangkak atau pun
berjalan, maka ketika "berdua" kecepatannya haruslah bertambah. Apakah
dengan berlari hatta terbang sekalipun. Intinya, haruslah meningkat
kualitas ilmu dan amal kita menjadi lebih baik. Seperti shalat, tilawah,
hafalan dan lain sebagainya. Karena menikah juga berarti membangun
peradaban Islam di rumah kita sendiri. Ustaz Salim A. Fillah mengatakan
bahwa "Rumah adalah Madrasah peradaban cahaya, adalah tugas kita untuk
menghadirkan syurga di rumah kita dengan cara berusaha menata diri kita
menjadi pribadi syurgawi".
Dalam pertemuan lain seorang Ustaz berkata bahwa jenis-jenis keluarga itu ada 5, yaitu:
1. Keluarga Televisi.
Rumah bagaikan bioskop. Ayah, mamak, anak selalu kompak dalam mengikuti
perkembangan sinetron, gosip artis dsb. Giliran menonton semuanya
berkumpul diruang TV sambil mencicipi makanan. Seperti bioskop. Ya,
seperti itulah. Kalau sudah gajian, yang diingat adalah belanja
untuk memenuhi kebutuhan perut tanpa membeli makanan untuk otak (ex:
membeli buku bacaan). Akibatnya, rumah menjadi kering intelektual.
Inilah yang dimaksud keluarga Televisi
2. Keluarga Kuburan.
Bukan karena sepi dan sunyi keluarga ini dikatakan keluarga kuburan.
Bukan juga karena rumah yang sempit, gelap, pengap, dan sumpek. Bukan!
Bukan karena itu! Tapi karena kering dari aktivitas syurgawi. Tidak
pernah shalat, jikapun ada hanya sesekali saja ketika moodnya lagi baik.
Tilawah Al-Qur'an tidak pernah terdengar. Jikapun ada mungkin hanya
setahun sekali yaitu disaat bulan suci. Ayah tidak pernah menyuruh anak
shalat, pun begitu juga mamak. Tidak ada saling memotivasi dalam
kebaikan dan menegur dalam keburukan. Ya, inilah sedikit gambaran
keluarga kuburan yaitu keluarga kering spiritual.
3. Keluarga terminal.
Suasana keluarga ini tidak ubahnya seperti terminal. Datang dan pergi
sesuka hati. Kalau istilah acehnya "Jak sabee woe siat, boeh beudak,
boeh cilak, jak lom". Ya, rumah hanya dijadikan tempat singgah saja
tanpa ada sapaan dan keakraban di dalamnya. Ayah pulang langsung tepar
tanpa menyapa siapa-siapa, atau tanpa "ba bi bu" sang Ayah langsung
berangkat kerja. Jikapun sesekali Ayah pulang dan ingin menyapa, anak
semuanya menjauh sebab takut dan segan.Ya, Ayah pulang, anak bubar. Ini hanya
sekelumit gambaran tentang keluarga jenis ini. Intinya, tidak ada
komunikasi yang baik dan tidak ada keharmonisan sesama dalam keluarga.
4. Keluarga Pasar
Jenis keluarga ini adalah keluarga yang penuh hitung-hitungan. Mencatat
pengeluaran belanja keluarga memang penting, tapi bukan ini yang saya
maksud dengan penuh "hitung-hitungan". Melainkan tidak adanya sifat
dermawan sesama anggota keluarga. Jika ada uang pribadi yang keluar,
ditagih mati-matian sampai bertengkar agar di bayar. Tidak ada rasa
saling berbagi.
5. Keluarga Mesjid
Keluarga ini sering kita
sebut juga dengan istilah "baitii jannatii", artinya rumahku syurgaku.
Dan, inilah keluarga ideal yang diharapkan oleh agama Islam yaitu
dengan menjadikan rumah seperti taman-taman syurga yang di penuhi dengan
aktivitas syurgawi. Shalat berjama'ah bersama, tilawah, membaca buku,
menulis, diskusi, dan akvitas lainnya. Ya, layaknya madrasah yang
didalamnya ada pelajar dan guru yang mengajarkan.
Pada akhirnya,
saya ingin mengatakan bahwa dari sinilah peradaban Islam itu bermula.
Seperti sebuah ungkapan, namun saya lupa nama pemilik ungkapan ini.
Beliau berkata "Kita bercita-cita agar Islam tegak di negeri ini, tapi
kita lupa untuk menegakkan Islam di hati kita sendiri". Maka, membangun
peradaban Islam itu haruslah bermula dari kita sendiri.
Kemudian,
perdaban itu kita ciptakan dirumah kita sendiri, Seperti yang
dicontohkan oleh Ummu Sulaim dan Abu Talhah. Adalah Abdullah nama putra
dari pasangan ini dididik dengan sangat baik oleh Ayah dan Ibunya. Sehingga ketika dewasa, ia kemudian menikahi seorang wanita shalihah dan mempunyai 9 orang anak yang
kesemuanya adalah hafiz dan hafizah. Mereka (Ummu Sulaim dan Abu Talhah)
telah berhasil membangun tiang-tiang untuk terciptanya peradaban
Islam yang dimulai dari dirinya, anaknya, hingga cucu-cucunya. Dan, masih banyak sederetan contoh
tokoh-tokoh Islam lainnya.Ya,dari sinilah pedaban Islam itu bermula. Dari diri kita dan rumah kita.
*Sebuah tulisan yang dihadiahkan untuk Cutngoh (Kakak ke-2) Saya yang
baru saja melepas status "Sendiri" dan Insya Allah akan menjadi ibu di
madrasah peradaban cahaya. Selamat menempuh hidup baru Cutngoh, semoga
langgeng bersama Bang Ngoh "", dan menjadi guru terbaik di madrasah
peradaban cahaya. Aamiin Ya Allah
*Dalam perjalanan Nagan Raya-Banda Aceh, 16 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar