Jumat, 14 Maret 2014

Mengapresiasikan Diri

       
Bulan Desember tahun 2013 yang lalu , saya dan teman-teman SMI sepakat untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah Al-Qur’an yang dilaksanakan oleh UNIMAL. Dan kami pun di kumpulkan di kantor jurusan untuk bertemu dengan pak Iqbal membahas teknis lomba. Singkat cerita, dalam waktu 10 hari kami diminta untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah tersebut baik dikerjakan secara tim maupun perorangan.
          Mulailah saya bergelut dengan berbagai buku, berkunjung dari pustaka ke pustaka. Walau sebenarnya naskah sudah ada, tinggal disempurnakan dan diedit saja. Namun, ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ditambah lagi bahasa yang harus diguanakan dalam karya tulis tersebut adalah bahasa ilmiah. Ya, nama saja ‘Lomba Karya Tulis Ilmiah’, wajar dong penulis diharuskan menggunakan bahasa ilmiah. Sebab, saya memang kurang menyenangi istilah-istilah ilmiah dan susah buuanget untuk mengingat istilah-istilah tersebut,semacam mengahfal rumus fisika, kimia, matematika, wadoooeh ribet buuanget. Tapi, kesulitan itu tidak membuat semangat saya turun. Saya masih bisa menggunakan kamus, membaca buku dll.

         Walhasil, setelah berpeluh-peluh mencari referensi, bergadang dimalam hari demi mengejar deadline, melawan rasa ngantuk, walau tubuh sudah sangat lelah dan capek, ditambah lagi kegiatan-kegiatan organisasi sana-sini, Alhamdulillah naskah tersebut selesai. Dan seketika itu pula saya mengirimkannya ke email panitia. Alhamdulillah, saya pun sudah sedikit lega dengan usaha yang telah dilakukan.Tinggal digencarkan doa dan tawakal atas hasil yang Allah berikan.
            Tapi, ternyata perjuangan itu tidak semulus yang saya bayangkan. Usai mengirim naskah ke email panitia, saya tidak mengecek lagi email tersebut. Barulah saya mengeceknya ketika kawan menanyakannya karena ketika itu email kawan dibalas oleh panitia. Betapa shocknya saya ketika malam itu, rupanya email saya gagal terkirim dan batas penerimaan naskah adalah jam 24.00 malam itu juga. Mulailah saya dihinggap penyakit panik, ditambah jaringan modemnya pun lelet banget.
            Saya pun menempuh jalan lain dengan mencari warnet terdekat. Alhamdulillah saya mendapati warnet yang tidak jauh dari rumah. Tapi, lagi-lagi saya diuji. Jaringannya tetap lelet. Dalam hati, bait-bait doa terus terukir. Itu saja yang bisa saya lakukan karena panitia pun tidak memberikan contact person yang bisa dihubungi. Itu saja, berdoa sambil menatap monitor komputer. Alhamdulillah, naskah tersebut akhirnya terkirim dengan menggunakan bantuan email kawan. Walaupun syarat-syarat Adm nya tetap tidak bisa terkirim dan deadlinenya pun udah berakhir.
            ‘Sudah, nyerah aja’, bisik hati saya. ‘Toh, kalau syarat Adm nggak lengkap, juga nggak bakalan di nilai naskahnya’. Ya, bisikan-bisikan pesimis itu memenuhi benak saya.  Besoknya, saya kembali mengecek, dan ternyata panitia memberikan dispensasi waktu kepada saya untuk melengkapi Adm sampai jam 3 siang hari itu.
            Dan lagi, saya harus berjuang sebab di jam tersebut saya juga rapat AMF. Hingga saya bergelut dengan dua agenda yang mendesak. Ternyata, email saya madih tetap bermasalah. Tetap saja ada yang syarat yang tidak terkirim. Lelah! Ya, perasaan lelah itu merayu saya untuk berhenti sejenak.
            Entah, saya pun tidak tau kenapa email saya bertingkah justru disaat terdesak seperti itu. Anehnya, sekalipun menggunakan email kawan, tetap saja gagal. Sesak, sesak sekali menginngat kejadian ini. Sebab usaha yang tidak berujung indah. Bukan masalah menang atau tidaknya, tapi sebab usaha yang terhenti ketika hampir sampai diujung jalan. Hanya karena email yang bermasalah. Ditambah lagi ketika hasil lomba diumumkan. Seketika airmata mengalir, isak tangis semakin deras, saya hanyut dalam lantun ayat-ayat Al-Qur’an. Mencari ketenangan hati dengan melantunkan ayat-ayat Allah. Sebab, nama saya tidak tercatat sebagai pemenang 5 besar. Entah karena syaratAdm nya yang tidak lengkap, ataukah karena naskah saya yang terlambat masuk ke email panitia atau memang karena naskah saya tidak layak untuk jadi juara. Entah, saya tidak tau. Yang pastinya, saya gagal.
            Oke, perjuangan LKTI itu pun selesai. Saya kembali beraktivitas seperti biasa. Ke kampus, masuk kuliah dll. Dan, ternyata Allah punya rencana lain. Saya kembali jumpa dengan Buk Khairani (Wakil Dekan III Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam) untuk memabahas naskah tulisan yang pernah saya kumpulkan ke beliau beberapa hari sebelumnya. Dan, saya pun berdiskusi dengan beliau mengenai karya tulis saya untuk bisa disempurnakan dan diedit. Beliau pun berkata ‘InsyaAllah dalam waktu dekat akan dibukukan tulisan ini majidah, bersama tulisan-tulian kawan-kawan laiinya.’
            Awalnya, saya tidak begitu yakin bahwa naskah saya tersebut layak untuk dibukukan. Namun, hari ini (14 Maret 2014) menjadi saksi bahwa naskah saya benar-benar telah dibukukan dan dilaunching di gedung Biro Rektor UIN Ar-Raniry. Alhamdulillah,saya merasakan kesenangan yang sulit untuk digambarkan. Sebab, ini adalah buku pertama yang memuat tulisan saya. Walau, banyak sekali kritikan-kritikan yang disampaikan di acara launching tersebut. Mulai dari covernya yang tidak menarik, ‘mirip buku panduan kuliah’ kata Pak Hasan Basri yang membedah buku kami ketika itu. Ya, memang benar apa yang beliau katakan dan saya mengakuinya. 


          
  Ada lagi yang mengkritik bahwa buku tersebut terkesan seperti proyek pe abeh peng akhir tahun. Hahaa, entah benar entah salah saya pun tidak tau. Tapi memang betul, bahwa buku ini masih banyak sekali kekurangan. Mulai dari nama saya yang salah ditulis, hadeeuuuh. Di tambah lagi tidak adanya biografi penulis, tampilannya yang monoton dll. 
            Terlepas dari itu semua, kita tetap perlu memberikan apresiasi kepada pihak yang telah berusaha untuk membukukan karya tesebut. Dan tentu kita perlu memberikan apresiasi kepada diri sendiri atas hasil dari usaha kita, sekecil apapun hasil itu. Semoga apresiasi itu dapat memicu kita untuk terus berkarya walau terkadang kita dihujani oleh banyak kritikan dan saran. Walau banyak suara-suara sumbang yang melemahkan azam. Sebab, tidak semua kritikan itu buruk, ada pelajaran yang bisa diambil. Dan sebaliknya, tidak semua saran itu harus ditampung, ada bagian yang kemudian hanya cukup untuk didengar saja, bukan untuk diaplikasikan.
            Pena kita, tidak boleh hanya menari ketika ada apresiasi. Ada dan tidaknya penghargaan, kalimat kebenaran harus tetap dituliskan. Penulis sejati, tidak gaduh mencari dengar seberapa banyak orang-orang membicarakan kehebatan karyanya, tidak sibuk mencari tau sebarapa banyak orang-orang menyebut-nyebut kejelekan tulisannya. Tidak!, penulis sejati tidak pernah tergiur karena pujian, tidak terkecoh karena kritikan. Penulis sejati adalah ia yang terus menarikan pena, ada atau tidak adanya penghargaan manusia. Sebab, ia yakin selama yang ditulis itu adalah kalimat kebenara, maka Allah dan prajurit malaikatnya tidak akan pernah diam dan lupa untuk mencatanya.
                Ya, kita perlu mengapresiasikan diri, atas keringat yang telah mengalir sepanjang perjuangan kita ini. Kita perlu memberi penghargaan pada diri atas tubuh yang telah berlelah-lelah, atas mata yang telah berjuang melawan rasa ngatuk, dan atas semua pengorbanan yang telah diberi dalam meniti kesuksesan. Mengapresiasikan diri dengan senantiasa bersyukur atas hasil yang Allah berikan, memberikan penghargaan pada diri dengan senantiasa terus mengasah kemampuan yang dimili. Sekecil apapun hasil yang diperoleh, kita perlu berterimaksih pada diri atas keteguhan diri dalam mencetak mimpi-mimpi. Semangat!!!
              Terkahir, saya ingin menegaskan pada diri dan pembaca, bahwa kita tidak boleh menyerah dengan kegagalan yang menghampiri. Kita tidak boleh terlalu lama meratapi kegagalan yang terjadi. Jika satu pintu kesuksesan telah tertutup, maka segeralah mencari pintu-pintu kesuksesan lainnya, bukan berhenti atau berdiam diri dalam larut dalam ratapan kegagalan. Semoga menginspirasi.




#Menyemangati diri.

           
               
                

2 komentar: