Senin, 30 Desember 2013

Kisah Di Balik Jilbab Biru



Sinar mentari semakin menyengat tubuhku. Tepat di atas ubun-ubun kepala ku cahaya itu rasanya seperti membakar diri. Panas, Perih, Terik .Namun, panas mentari hari itu tersisihkan dengan keindahan alam. Gemerciknya air sugai yang mengalir deras dan jernih itu mampu menghadirkan kesejukan di hati para peserta dan panitia yang hadir di acara rihlah tersebut.Ya, hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan. Adik-adik rohis, pengurus AMF Nagan Raya beserta alumni berkumpul bersama dalam ajang silaturrahmi dan refresing di sungai Irigasi Desa Ulee Jalan, Nagan Raya.


            Sungai irigasi menjadi salah satu tempat wisata favorit di daerah Nagan Raya. Walau terlihat sederhana, namun kesejukan dan kejernihan air sangat menggoda warga untuk berkunjung. Dan, sebab itulah kami memilih refresing di daerah ini. Aha, aku lupa. Tempat ini juga sangat cocok untuk bermain ria dengan percikan air. Sangat jernih. Di tambah dengan keindahan bendungan besar di tengah-tengah sungai. Loh? Kok udah cerita sungai irigasi ya? Hehhe. Kembali ke cerita awal.
 Hari itu, aku menjadi panitia di acara rihlah tersebut. Ya, tentu sebagai panitia aku disibukkan dengan berbagai hal. Mulai dari harus datang lebih cepat, menyiapkan tempat, bakar-bakar ayam, menyiapkan nasi dan sederetan persiapan lainnya. Tak pernah terbayang bahwa akan ada seorang adik yang memerhatikan gerak-gerik ku dalam mengerjakan sederetan tugas itu.
Seperti biasa, aku memilih tampil sederhana di acara rihlah. Memakai jilbab paris berwarna biru yang sudah dilapisi jilbab lainnya dan baju blouse bermotif bunga-bunga kecil berwarna sama dengan kerudung yang ku kenakan. Sebab, warna biru adalah warna favoritku.
 Dalam balutan jilbab besar itu aku terus bergerak. Mengumpulkan infaq peserta dan panitia, menghendel acara diskusi, membuat absen, bakar-bakar ayam dll. Hingga semua masakan selesai dan siap untuk disaji. Kami pun bergegas untuk berkumpul bersama peserta yang sedang khusyuk mendegar materi dari Syeikh Rafsanjani.
Usai makan siang, tiba-tiba seorang adik mendekati ku sambil bertanya “ Kak, nggak panas pakai jilbab besar?. Udah jelbabnya besar, lebar, dua lapis lagi. “ Ujar adik tersebut. Aku tersenyum mendengar pertanyaanya. Sosok adik  yang sangat polos dan berani untuk bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya. Karena mungkin penampilan yang dia saksikan sangat jarang terlihat di kampungnya. Memang benar, muslimah yang berjilbab besar sangat jarang terlihat di desa-desa. Jikapun ada, biasanya mereka jarang memakai jilbab paris yang dilapisi jilbab tebal lainnya. Lebih memilih jilbab tebal yang tidak dilapisi lagi. Ribet!. Tidak seperti dikampusku. Wanita berjilbab besar, lebar, dua lapis sudah sangat sering ku temukan. Bahkan,  sering sekali aku dikelilingi oleh bidadari-bidadari seperti itu dalam berkativitas.
Akupun menjawab “Adikku, adalah mustahil jika kakak menjawab “tidak panas”. Apalagi dalam kondisi sinar matahri yang sangat menyengat. Pasti panas. Tapi, adik tau nggak? Iman senantiasa mengubah panas menjadi dingin. Menyulap butiran-butiran keringat menjadi butiran-butiran kesejukan. Hingga tidak terasa apapun selain sejuk walau dalam balutan jilbab besar. Walau harus berlapis-lapis kain yang jadikan penutup untuk menutupi perhiasan yang Allah titipkan.” Karena menutup aurat adalah kewajiban, bukan pilihan. Yang perlu kita mantapkan adalah iman agar ridha dengan segala aturan Tuhan.”. Tiba-tiba dia terdiam.
            Akupun balik bertanya  “Pernah dengar cerita Bilal bin Rabbah? Seorang budak yang di siksa dibawah sengatan matahari? “. Dia menggelengkan kepala. Pertanda bahwa dia belum pernah mendengar cerita itu.
“Baik,akan kakak ceritakan” ujarku padanya. “Adikku, Bilal bin Rabbah adalah seorang budak, berkulit hitam pekat yang pernah disiksa oleh orang-orang kafir quraisy. Adek tau bagaimana dia disiksa? Bukan dengan pukulan kecil. Bukan!. Bilal bin Rabbah ditelanjangi dadanya dan di ditidurkan di tengah padang pasir. Lalu, di letakkannya batu yang sangat besar lagi panas di atas dadanya. Dan para Quraisy memaksa Bilal untuk keluar dari Islam. Menyuruh Bilal untuk memuja Latta dan Uzaa. Tapi Bilal tidak pernah terusik dengan apapun bentuk siksaan mereka. “Ahad, Ahad (Allah Maha Esa)  itulah kata yang selalu diucapakan oleh lisannya dalam sesakit apapun siksaan itu“. Apakah siksaan tersebut terasa sakit?perih?pedih?. Apakah batu panas yang diletakkan di atas dadanya terasa membakar tubuhnya?Tentu. Tapi, Bilal tidak pernah goyah dan tidak pernah mau menggadaikan aqidah. Kenapa? Sebab Bilal memiliki kekuatan iman yang sangat besar kepada Allah. Keimanan yang menhembuskan kesejukan ditengah panasnya siksaan yang menimpanya. Keimanan yang mengakar dalam hati. Yang memahami dan mengerti akan konsekuensi dari keimanan, yaitu tunduk, patuh kepada-Nya, meyerahkan segenap jiwa dan raga hanya untuk-Nya.”
“Tapi kan kak, adek belum siap” dia menyela. Aku kembali memotivasi “Dek, kematian itu tidak akan pernah melihat kita sudah siap atau tidak. Kematian tidak mengenal istilah “menunggu”, “kasihan”. Tidak! Sama sekali tidak. Dia bisa datang kapanpun. Tanpa meminta izin kepada kita. Dan tidak akan ada tempat yang dapat menyembunyikan kita darinya. Sekalipun kita berada di benteng yang sangat kokoh. Tetap mampu ditembus. Sebab itu, kita tidak boleh menunda untuk berbuat kebaikan”.
“Ia kak, InsyaAllah. Sebenarnya adik juga pengen sekali seperti kakak”, sahut dia kembali sambil menunduk malu.”Adik pengen bimbingan dari kakak”. Aku mulai terasa lega mendengar ucapannya. Sepertinya nasehatku mulai mengalir deras dalam hatinya.
Suara azan Ashar menuntun kami untuk berhenti bercerita dan bergegas untuk Shalat jama’ah bersama. Usai shalat, kami berkumpul sejenak untuk foto bersama-sama.
***
Langit pun mulai menguning, Senja telah hadir menghiasi sore hari. Menemani perjalanan pulang jundi-jundi Allah ke rumah kediaman. Rasanya, aku tak sabar ingin cepat sampai kerumah. Dan merebahkan diri, melepaskan penat, melepaskan lelah dan mengistirahatkan diri sejenak. Akupun mempercepat laju sepeda motor alias balap-balapan sedikit. Nggak banyak. hehe
 Huft! Akhirnya sampai juga.

***
Kring….Kring…        
            Pagi-pagi sebuah sms masuk ke ponselku.
            Aslkm kak, adek mau beli jilbab besar. Dimana ya kak belinya?      
            Aku tersenyum. Alhamdulillah… :)

Jilbab biru, telah menjadi saksi hijrahnya seorang wanita, saksi inspirasi untuk  seorang adek bernama Dewi. Semoga istiqamah adinda Shalehah. Aamiin




“…Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”(QS. Ar-Ra’d:11)
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.’ (QS. Al-Qashas: 56)




                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar