Sinar mentari semakin menyengat tubuhku. Tepat di atas ubun-ubun
kepala ku cahaya itu rasanya seperti membakar diri. Panas, Perih, Terik .Namun,
panas mentari hari itu tersisihkan dengan keindahan alam. Gemerciknya air sugai
yang mengalir deras dan jernih itu mampu menghadirkan kesejukan di hati para
peserta dan panitia yang hadir di acara rihlah tersebut.Ya, hari itu adalah
hari yang sangat menyenangkan. Adik-adik rohis, pengurus AMF Nagan Raya beserta
alumni berkumpul bersama dalam ajang silaturrahmi dan refresing di sungai
Irigasi Desa Ulee Jalan, Nagan Raya.
Sungai irigasi menjadi salah satu
tempat wisata favorit di daerah Nagan Raya. Walau terlihat sederhana, namun
kesejukan dan kejernihan air sangat menggoda warga untuk berkunjung. Dan, sebab
itulah kami memilih refresing di daerah ini. Aha, aku lupa. Tempat ini juga
sangat cocok untuk bermain ria dengan percikan air. Sangat jernih. Di tambah
dengan keindahan bendungan besar di tengah-tengah sungai. Loh? Kok udah cerita
sungai irigasi ya? Hehhe. Kembali ke cerita awal.
Hari itu, aku menjadi
panitia di acara rihlah tersebut. Ya, tentu sebagai panitia aku disibukkan
dengan berbagai hal. Mulai dari harus datang lebih cepat, menyiapkan tempat,
bakar-bakar ayam, menyiapkan nasi dan sederetan persiapan lainnya. Tak pernah
terbayang bahwa akan ada seorang adik yang memerhatikan gerak-gerik ku dalam
mengerjakan sederetan tugas itu.
Seperti biasa, aku memilih tampil sederhana di acara rihlah.
Memakai jilbab paris berwarna biru yang sudah dilapisi jilbab lainnya dan baju
blouse bermotif bunga-bunga kecil berwarna sama dengan kerudung yang ku
kenakan. Sebab, warna biru adalah warna favoritku.
Dalam balutan jilbab besar
itu aku terus bergerak. Mengumpulkan infaq peserta dan panitia, menghendel
acara diskusi, membuat absen, bakar-bakar ayam dll. Hingga semua masakan selesai
dan siap untuk disaji. Kami pun bergegas untuk berkumpul bersama peserta yang
sedang khusyuk mendegar materi dari Syeikh Rafsanjani.
Usai makan siang, tiba-tiba seorang adik mendekati ku sambil
bertanya “ Kak, nggak panas pakai jilbab besar?. Udah jelbabnya besar, lebar,
dua lapis lagi. “ Ujar adik tersebut. Aku tersenyum mendengar pertanyaanya.
Sosok adik yang sangat polos dan berani
untuk bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya. Karena mungkin penampilan
yang dia saksikan sangat jarang terlihat di kampungnya. Memang benar, muslimah
yang berjilbab besar sangat jarang terlihat di desa-desa. Jikapun ada, biasanya
mereka jarang memakai jilbab paris yang dilapisi jilbab tebal lainnya. Lebih
memilih jilbab tebal yang tidak dilapisi lagi. Ribet!. Tidak seperti
dikampusku. Wanita berjilbab besar, lebar, dua lapis sudah sangat sering ku
temukan. Bahkan, sering sekali aku
dikelilingi oleh bidadari-bidadari seperti itu dalam berkativitas.
Akupun menjawab “Adikku, adalah mustahil jika kakak menjawab “tidak
panas”. Apalagi dalam kondisi sinar matahri yang sangat menyengat. Pasti panas.
Tapi, adik tau nggak? Iman senantiasa mengubah panas menjadi dingin. Menyulap
butiran-butiran keringat menjadi butiran-butiran kesejukan. Hingga tidak terasa
apapun selain sejuk walau dalam balutan jilbab besar. Walau harus
berlapis-lapis kain yang jadikan penutup untuk menutupi perhiasan yang Allah
titipkan.” Karena menutup aurat adalah kewajiban, bukan pilihan. Yang perlu
kita mantapkan adalah iman agar ridha dengan segala aturan Tuhan.”. Tiba-tiba
dia terdiam.
Akupun balik bertanya “Pernah dengar cerita Bilal bin Rabbah? Seorang budak yang di siksa dibawah sengatan matahari? “. Dia menggelengkan kepala. Pertanda bahwa dia belum pernah mendengar cerita itu.
Akupun balik bertanya “Pernah dengar cerita Bilal bin Rabbah? Seorang budak yang di siksa dibawah sengatan matahari? “. Dia menggelengkan kepala. Pertanda bahwa dia belum pernah mendengar cerita itu.
“Baik,akan kakak ceritakan” ujarku padanya. “Adikku, Bilal bin
Rabbah adalah seorang budak, berkulit hitam pekat yang pernah disiksa oleh
orang-orang kafir quraisy. Adek tau bagaimana dia disiksa? Bukan dengan pukulan
kecil. Bukan!. Bilal bin Rabbah ditelanjangi dadanya dan di ditidurkan di
tengah padang pasir. Lalu, di letakkannya batu yang sangat besar lagi panas di
atas dadanya. Dan para Quraisy memaksa Bilal untuk keluar dari Islam. Menyuruh
Bilal untuk memuja Latta dan Uzaa. Tapi Bilal tidak pernah terusik dengan
apapun bentuk siksaan mereka. “Ahad, Ahad (Allah Maha Esa) itulah kata yang selalu diucapakan oleh
lisannya dalam sesakit apapun siksaan itu“. Apakah siksaan tersebut terasa sakit?perih?pedih?.
Apakah batu panas yang diletakkan di atas dadanya terasa membakar
tubuhnya?Tentu. Tapi, Bilal tidak pernah goyah dan tidak pernah mau
menggadaikan aqidah. Kenapa? Sebab Bilal memiliki kekuatan iman yang sangat
besar kepada Allah. Keimanan yang menhembuskan kesejukan ditengah panasnya
siksaan yang menimpanya. Keimanan yang mengakar dalam hati. Yang memahami dan
mengerti akan konsekuensi dari keimanan, yaitu tunduk, patuh kepada-Nya,
meyerahkan segenap jiwa dan raga hanya untuk-Nya.”
“Tapi kan kak, adek belum siap” dia menyela. Aku kembali memotivasi
“Dek, kematian itu tidak akan pernah melihat kita sudah siap atau tidak.
Kematian tidak mengenal istilah “menunggu”, “kasihan”. Tidak! Sama sekali
tidak. Dia bisa datang kapanpun. Tanpa meminta izin kepada kita. Dan tidak akan
ada tempat yang dapat menyembunyikan kita darinya. Sekalipun kita berada di
benteng yang sangat kokoh. Tetap mampu ditembus. Sebab itu, kita tidak boleh
menunda untuk berbuat kebaikan”.
“Ia kak, InsyaAllah. Sebenarnya adik juga pengen sekali seperti
kakak”, sahut dia kembali sambil menunduk malu.”Adik pengen bimbingan dari
kakak”. Aku mulai terasa lega mendengar ucapannya. Sepertinya nasehatku mulai
mengalir deras dalam hatinya.
Suara azan Ashar menuntun kami untuk berhenti bercerita dan
bergegas untuk Shalat jama’ah bersama. Usai shalat, kami berkumpul sejenak
untuk foto bersama-sama.
***
Langit pun mulai menguning, Senja telah hadir menghiasi sore hari.
Menemani perjalanan pulang jundi-jundi Allah ke rumah kediaman. Rasanya, aku tak
sabar ingin cepat sampai kerumah. Dan merebahkan diri, melepaskan penat,
melepaskan lelah dan mengistirahatkan diri sejenak. Akupun mempercepat laju
sepeda motor alias balap-balapan sedikit. Nggak banyak. hehe
Huft! Akhirnya sampai juga.
***
Kring….Kring…
Pagi-pagi sebuah sms masuk ke
ponselku.
Aslkm kak, adek mau beli jilbab
besar. Dimana ya kak belinya?
Aku tersenyum. Alhamdulillah… :)
Jilbab
biru, telah menjadi saksi hijrahnya seorang wanita, saksi inspirasi untuk seorang adek bernama Dewi. Semoga istiqamah
adinda Shalehah. Aamiin
“…Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri…”(QS. Ar-Ra’d:11)
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.’ (QS. Al-Qashas: 56)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar