Kamis, 18 Juli 2013

Merobek Tirai diri sendiri

#PenaKamiTidakPuasa


Bagi sebagian orang,menceritakan aib atau dosa diri sendiri ke orang lain tidak lagi menumbuhkan bintik malu dalam hatinya. Bahkan dengan bangga menyusun kata dalam bercerita. Contoh, kisah pacaraan. Tidak jarang kita melihat orang-orang yang berpacaran mengumbar-umbar kisah “asmara sesat” mereka itu ke orang lain. Berikut saya berikan contoh bentuk aib yang sering menjadi bahan cerita antar remaja. Dan ini biasanya didominasi oleh pata remaja.Tapi, yang sudah menikah juga pernah menceritakan hal yang sama. Bedanya kebanyakan kisah mereka itu sampai kepada perlaminan. Tapi,itu tetap aib bukan? Apalagi jika kemudian dia bercerita bahwa "sebelum saya menikah dengan dia,saya pernah berpacaran dengan sifulan dan sifulen", atau dia bercerita bahwa “sebelum suami/istri saya menikah dengan saya, dia dulu pernah pacaran dengan si Fulan. Wah, ini yang lebih parah lagi karena membongkar aib pasangan diri sendiri.


Mungkin karena memandang bahwa itu bukanlah sebuah aib. Mungkin juga karena memandang bahwa hal tersebut bukanlah sebuah maksiat.
Wahai..yang namanya dosa akan selamanya bernama dosa. Walau kemudian dilabeli dengan kata "islami". Misal, dalam hal pacaran. Tak ada pacaran islami kecuali setelah menikah. begit
Seharusnya kita malu karena menyibak aib sendiri. Dan tanpa kita sadari kita telah membuat dosa itu menjadi besar dalam pandangan Allah.
Rasulullah bersabda " setiap umatku selamat kecuali orang-orang yang terang-terangan berlaku dosa. Dan, diantara perbuatan terang-terangan melakukan dosa ialah jika seseorang berdoa dimalam hari sementara Allah telah menutupinya (aibnya),namun dipagi hari ia merobek tirai penutup itu sambil berkata "hai Fulan,semalam aku melakukan ini dan itu (HR. Bukhari Muslim)

            Setiap kita pernah bernoda dan terlumuri oleh dosa. Pasti!, tapi jika kita telah memohon ampun tidaklah kemudian kita mengumumkan ke semua orang akan aib diri kita sendiri.  Setiap kita punya sejarah tersendiri yang tidak selamanya berwarna putih dan suci. Adakalanya abu-abu dan hitam. Bahkan hitam pekat sekali. Sekalipun, telah ada niat yang sangat kuat dalam hati kita untuk tidak terjatuh dalam lubang yang salah, dalam jurang dosa. Namun, terkadang kita tetap tersandung.

 Itulah fitrah manusia yang diciptakan dalam kealpaan. Tapi Allah memberi jalan bagi kita untuk membersihkan diri dari berbagai lumuran debu dan noda itu. Dengan mendatangi-Nya dan merendahkan diri pada-Nya, dengan menyerahkan segenap jiwa dan raga untuk-Nya. Datang dengan segenap cinta dan rindu untuk kembali kepada kesucian. Bersimpuh dan tunduk dengan mengunci anggota tubuh agar tidak kembali terjatuh pada lubang yang sama. Mengetuk pintu ampunan-nya seraya berkata “Allah, ini hambamu yang telah menyesakkan dada perut bumi dengan tindakan maksiat ku. Kini hamba datang dengan kejujuran dan pengakaun salah ku. Maafkan dan sucikan diri ini. Bantulah hamba agar tidak tergiur oleh kecermlangan yang menipu. Allah, jika Engkau telah memalingkan wajah-Mu dariku, sungguh hamba termsuk orang-orang yang sangat rugi. Sambutlah hambamu yang datang dengan ketulusan dan kerinduan yang amat kepada-Mu”.
            Itulah semurni-murni taubat. Dan jika Allah telah mengampuni dosa kita. Dia tidak akan peduli lagi dengan noda-noda yang pernag kita ukir itu. Seberat dan sebanyak apapun itu “Wahai anak Adam, sesungguhnya Engkau berdoa kepada-Ku dan memohon kepada-ku, maka Aku ampuni engkau, AKU TIDAK PEDULI (BERAPAPUN BANYAK DAN BESAR DOSAMU). Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosanya (sebanyak) awan di langit, kemudian engkau minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni engkau. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau menemui-Ku dengan tidak menyekutukan Aku sedikit pun, maka akan Aku temui engkau dengan ampunan sepenuh itu pula. (HR. Tirmidzi)
Jaminan yang sangat indah bukan?. Ya, Allah menjamin bahwa Dia tidak akan mempermasalahkan dosamu. Karena itu, kita benar-benar harus melupakan dan menjaga tirai penutup aib diri. Jika penghuni langit sudah tidak memperbincangkan aib kita, lalu kenapa kita dengan bangga menghangatkan kembali bincangan rendahan itu?. Beda halnya jika kita menceritakannya untuk diambilkan pelajaran. Agar orang-orang lain tidak terjatuh dalam jurang yang sama dengan kita. Sepeti kisah kekhilafan nabi Adam yang diabadikan dalam Al-Qur’an, atau kisah Umarb in Khattab yang banyak ditulis dalam buku bacaan. “Agar engkau mengambil pelajaran” begitulah kata Tuhan.
Karena itulah, kita tidak bolah merobek tirai penutup aib kita sendiri. Cukuplah Allah yang mengetahui kerapuhan kita ini. “Cukuplah Dia mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya”(QS. Furqan: 58). Biarlah kita tetap berada dalam tirai penjagan-NYA dengan tidak mengumabr-umbar aib dan dosa kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar