Selasa, 07 Februari 2012

Pondok Impian


Pondok Impian

“ Hasrat itu menyapa hatiku saat diri hendak melangkah pergi.  Jiwa ini seakan seperti terpanggil untuk kembali. Raga ini seakan akan hendak tetap berdiri. Ya, hati dan raga ini ingin menetap dan menetap. Lantas, atas dasar apa ku dapat menetap disini.ini bukan jalanku. Ini bukan jemabatan ku untuk sampai kepada kesuksesan. Ya…ini bukan jalanku” .                                        
Hari itu hari pertama ku menginjak kaki di pondok itu. Sebuah pondok bernama Ruhul Islam Anak Bangsa. Salah satu Pondok Terkenal di Aceh yang telah berhasil mencetak generasi-generasi qur’ani dan  berintelektualitas tinggi.
 
 Akhirnya aku bisa melangkahkan kaki di pondok yang pernah kuimpikan itu . Bukan..! Bukan sebagai pelajar atau murid atau santriwati. Bukan juga sebagai guru atau ustazah. Bukan…! Itu bukan gelar yang pantas bagiku. Ya, aku adalah “pengunjung” itulah gelar ku. Aku mengunjungi adikku yang sekolah disitu. Dia adik kandungku. Dan sekarang dia telah duduk di kelas dua di pondok  itu atau setara dengan kelas dua madrasah Alityah. Dan aku  duduk di kelas 3 di sekolahku, Sebuah sekolah yang ada di kampungku. Sebuah sekoklah yang fasilitas yang sederhana dan berkualitas biasa-biasa saja.  Umurku memang tak jauh berbeda dengan adikku. Hanya selisih 1 tahun.

hari itu  Aku mengunjunginya bersama ayah dan ibuku.    Dan tentunya sebagai pengunjung tak izinkan berlama-lama disitu. Aku memang senang melihat adikku besekolah di pondok itu. Tapi.., rasa sedih itu tetap tak dapat kusembunyikan. Hatiku sedih…pengunjungan ini selalu menyayat hatiku. Aku cemburu…cemburu melihat adikku yang dapat bersekolah disitu. bagaimana tidak..pondok itu adalah pondok impianku. Nama sebuah pondok yang telah terukir lama di hatiku. 
***
kring….kring….HP ayahku berbunyi.
“assalamu’alaikum…
“ bisa bicara dengan Sufiya? suara seorang laki-laki terdengar diseberang sana.
“wa’alailkumsalam.., ini dengan ayahnya sufiya, maaf ini dengan siapa ya?
“ini dengan ustaz yunus, boleh saya bicara dengan sufiya sebentar pak?
“ow,,,boleh pak, sebentar saya panggil dulu ya…

sufuiyaa……….”ayahku berteriakmemanggilku.
“ia ayah…”jawabku yang saat itu sedang asyik bermain bersama teman-teman di teras rumahku.
“ne ustaz yunus telepon, mau ngomong dengan fiya kata’a”

Aku terkejut “Ah..ustaz yunus, ada apa ya? Kok tiba-tiba  telepon. ada sesuatu yang pentingkah?” Bait-bait pertanyaan itu muncul Dalam benakku. Ustaz yunus itu merupakan salah seorang guru di pondok yang kuimpikan itu. Aku bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu, saat aku ikut perlombaan cerdas cermat di tingkat kabupaten di daerahku. Dan ustaz itu adalah salah satu dewan juri di hari perlombaan itu.dan Alhamdulillah aku dan teman-temanku meraih juara satu. Kala itu aku belum memiliki HP, karena itulah ustaz menghubungiku lewat ayahku.

“ assalamu’alikum ustaz, ne sufiya. Ada apa ustaz?
“apa fiya mau bersekolah di sekolah ustaz?”  Tanpa ba bi bu, ustaz yunuz langsung melontarkan pertanyaan itu pada “Sebuah pertanyaan yang menggembirakan” bisikku dalam hati.
“ mau ustaz...fiya memang pengen banget sekolah dipondok ustaz.”
ok..kalau begitu, coba bicarakan dengan ayah dan mama ya, untuk kelulusan jangan dihiraukan lagi, insyaAllah fiya akan diterima tanpa tes. Dah dulu ya…
assalamu’alaikum…
tut…tut…tut..
Telepon terputus, aku tak sempat bertanya, kenapa aku diterima tanpa tes. Apa mungkin  karena juara lomba kemaren? Aku mencoba menebak. “Ah…sepertinya itu tak penting. Yang penting aku diterima di pondok itu. “

Aku pun membicarakan hal itu kepada orang tuaku. Tapi…, sayang sekali orang tuaku tak mengizinkanku. Aku terus mencoba meggunakan jurus rayuanku, mengemis pada orang tuaku, tapi tetap saja tak diizinkan. Dengan alasan “Hana Peng”.[1] Ya…inilah alasan yang paling ku benci. Selalu..dan selalu saja “peng “ [2]menjadi penghalang impianku, menjadi pengrampas impianku.Akhirnya, ku kurung niatku bersekolah di pondok itu.  dan melanjutkan sekolah di desaku.

Tapi…, lain halnya dengan adikku. Semuanya berjalan dengan mulus. Orang tuaku dengan mudah mengatakan “setuju” saat adikku meminta bersekolah di pondok itu. aku cemburu. ya..!! aku cemburu melihat adikku dapat bersekolah disitu.
Kecemburuan itu membuat hatiku mulai berontak.” Mengapa semua ini terasa tidak adil, kenapa ayah, bunda tak izinkan aku sekolah disini, dan kenapa giliran adikku diizinkan? Apa aku tidak pantas sekolah disini..? aku juga pengen tinggal di asrama..belajar ilmu-ilmu agama disina..aku kan juga pengen bisa merasakan suasana pondok.  Apa salahku? Apa salahku Tuhan..?? kenapa giliranku orang tuaku berkata “hana peng” tapi kenapa tidak  dengan adikku? Kenapa semua ini terasa tak adil? Kenapa Tuhan? Aku terdiam..aku tak mampu menjawab. sungguh…kecemburuan itu bagaikan api yang membakar jiwaku hingga amarah terus berkobar.

                                                         ***
Senja telah menyelimuti hari. Sebentar lagi, sang surya akan berangkat keperaduan, beristirahat dan meminta rembulan untuk berjaga. Aku dan kedua orang tuaku akan segera beranjak pergi dari pondok itu. Tapi, hatiku tetap saja tak bisa di ajak untuk kembali kerumah. Hatiku tetap saja ingin menetap disini..dipondok yang ku impikan ini. Tapi….
Dan akupun pulang bersama orang tuaku. Kalaulah boleh hati ini berkata pasti ia meminta untuk tinggal di pondok itu. Aku suka suasana asrama. Nuansa kedamaiaan begitu terasa disana. Pergaulan antara santri dan santriwati begitu terjaga. Tapi, aku tak kuasa, aku tak mampu mengutarakan niat itu kepada orangtuaku. Dan kalipun ku sampaikan niat ini, sepertinya akan sia-sia. Hanya akan memburukkan suasana. Karena ini sudah bukan jalanku. Ini bukan jembatan ku untuk menuju kesuksesan.
Disepanjang perjalanan pulang, hatiku terus berkecamuk. Kecemburuan itu terus membakar hati ini hingga berapi. Ingin sekali aku berteriak meluahkan api cemburu ini. “betapa tidak adilnya ini, ayah tidak adil, ibu tidak adil…..aku BENCI”. Kalimat-kalimat itu bagaikan bahan bakar yang mebuat api kecemburuan itu terus membara. Dan tetesan airmata akhirnya mengalir. Aku terisak sendirian. Tak ada yang tau aku menangis. Semua penumpang  tertidur termasuk orang tuaku. Hanya sopir mobil yang masih terjaga dan focus dengan tugas mengemudinya.
Dan akupun tertidur dalam isak tangisanku.

                   ***
“Semua itu telah berlalu, percuma kita menyesali dengan apa yang telah terjadi, kita harus bisa belajar mengikhlaskan apapun yang telah Allah beri. Tidakkah kalian tau bahwa Allah sangat membenci orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat-NYA? Ingatlah..tak selamanya yang kita cintai itu baik bagi kita dan begitu juga sebaliknya. Allah telah berkata didalam kitab-NYA  “ boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 216).
Cintailah apa yang telah Allah berikan sekarang ini. Betapa banyak kita yang gagal karena menghiraukan apa yang tak dimilikinya dan mengabaikan apa yang dimiliknya. Bukan masalah seberapa banyak yang kita miliki tetapi seberapa banyak kita menysukuri. Belajarlah untuk bersyukur agar Allah senantiasa memberikan nikmat yang lain. Lihatlah…mungkin diluar sana ada banyak anak-anak yang sampai saat ini tidak dapat bersekolah, tidak belajar seperti kalian. Dengan problema yang bermacam-macam yang membuat mereka tak mampu sekolah. Tidakkah kalian bersyukur dengan apa yang kalian miliki saat ini? Masih kah kalian mengingkari nikmat yang Allah berikan ? Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Kesuksesan itu tidak memandang latar belakang sekolah. Sekolah yang terkenal belum bisa menjamin semua murid-muridnya dapat menjadi terkenal suatu saat. Kita juga  bisa menjadi sukses selagi mau terus berusaha dan berdo’a. Menjadi hal yang biasa jika ada sebuah sekolah mampu mencetak  generasi yang sukses di nasional maupun internasional, tapi sungguh luar biasa bagi saya jika kalian semua juga bisa sukses di ranah nasional maupun internasional. Saya rasa, orang tua kalian juga mempunyai pandangan  yang sama mengenai hal itu.  Maka…,buktikan wahai anakku sekalian, buktikan kepada dunia bahwa kalian bisa sukses.

wahai anak-anakku semua….berdamailah engkau dengan takdirmu yang telah di tetapkan-Nya agar hidup ini menjadi tenang dan jiwa akan menjadi tentram. Jika engkau telah berdamai,  tak akan ada lagi peraang batin, tak aka nada lagi kecemburuan.  Fokuskan pada apa yang ada didepan  mata kita.Yakinlah….pemberian-Nya adalah yang terbaik untuk kita.

Terdiam..aku hanya bisa diam mendengarkan apa yang disampaikan  oleh guru sekolahku. Tausiyah yang disampaikan ba’da zuhur itu betul-betul membuatku terkejut. Bagaimana mungkin tausiyah itu sesuai dengan problema hati ku? Ah…sepertinya aku tak perlu tau. Mungkin inilah jawaban kenapa akhir-akhir ini aku gagal menjadi juara kelas. Karena aku sering membading-bandingkan kenikmatan diberikan-Nya kepada ku dan adikku. Bahkan terlalu sering. Aku terlau sibuk mengungkit-ngungkit impianku yang tak tercapai itu. hingga tenggelam..tenggelam dalam kekecewaan. Bahkan kerap kali aku menyalahkan oranh tuaku ketika prestasiku menurun drastis.
“ coba kalau ayahdan bunda  izinkan fiya sekolah di pondok itu, prestasi fiya nggak akan seburuk ini, bagaimana mungkin fiya bisa berprestasi di sekolah yang tak berkualitas ini, fasilitasnya ja tak cukup”. Ah….andaikan saja ayah dan bunda berbaik hati diwaktu itu, aku pasti dah jadi bintang sekolah  di pondok itu”itulah kaliamat yang sering kuucapakan pada orang tuaku ketika prestasiku turun drastis.  Tapi…Mereka hanya diam jika ku melontarkan kalimat-kalimat seperti itu. karena mereka tau inilah cara mereka meredamkan emosiku.

 Mungkin Allah menegurku lewat tausiyah itu. Dan tiba-tiba saja gelombang keinsyafan dalam hatiku bergulung-gulung. Bahwa Allah telah memberiku dengan berbagai kenikmatan selama ini, kenapa aku seperti tak pernah sadar? Oh Allah…maafkan hamba-Mu yang tak pandai bersyukur ini. Padahal kau hujani Aku dengan berbagai kenikmatan, aku telah melupakan nikmat yang berjuta-juta telah KAU berikan itu hanya karena 1 impian ku yang tak tercapai. Oh Rabb….betapa dha’ifnya diri..Maafkan Hambamu ini. Tak semestinya kalimat murka itu tersusun di hati ini. Tak semestinya hati ini terkotori oleh kalimat benci. Sudah semestinya aku memahami.., sudah semestinya aku mengerti bahwa orangtuaku punya alasan tertentu yang tak mengizinkan ku sekolah di pondok itu. Dan sudah saatnya aku bersihkan hati ini dari rasa kebencian. Ibu..ayah..maafkan anakmu yang tak pandai mengerti. Aku berjanji, aku akan membuktikan bahwa aku juga bisa sukses di sekilah ini.


[1] .Tidak Ada uang
[2] uang

3 komentar:

  1. memang kenangan di pesantren itu takkan terlupakan, pasti kita ingin kembali ke masa itu, wah alumni RIAB..lett brapa dek ????? teruslah semngta menulis..salam kenal yah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan kakakn :(
      tapi, RIAb adalah Pondok yang saya impikan dulu. Cerpen di atas menceritakan tentang impian itu. Namun, da yang di ubah, di tambah dan dikurang.hehe

      maksih kakak dah singgah di tulisan sederhana ini.

      salam kenal juga..

      Hapus
  2. Membaca tulisan ini, pikiran lama ku tentang mu buyar, berbalik arah. Ku pikir dirimu alumni RIAB, namun ternyata itu hanya pondok Impian. Tapi keep writinglah, semangat terus, , , ,

    Tak selama pesantren itu pencetak generasi islami, pribadi yang teguh juga akan tetap berdiri walau angin badai menerjang. . .

    BalasHapus